Satu dekade lalu, DVD-lah yang memperpanjang hidup dan pemasukan sebuah film dalam roda industri Hollywood. Sedangkan sekarang, menurut Mike Walsh, penulis buku Futuretainment, giliran teks dalam format 140 karakterlah yang menjalani fungsi sama seperti yang pernah dijalani oleh DVD.
Layanan micro-blogging Twitter mengizinkan penggunanya menjadi ‘penerbit’ isi pikiran masing-masing penggunanya hanya dalam batasan 140 karakter. Dari segi industri hiburan, layanan ini memungkinkan dan memudahkan para bintang untuk terus terhubung dengan penggemarnya.
Penggunaan platform social media ini kemudian dapat mengakselerasi gosip. Padahal gosip adalah kekuatan yang mendasari hidup atau matinya industri hiburan Hollywood. “Akui saja, yang paling banyak membuat orang datang ke bioskop dan menonton film itu adalah pesona dan persona si aktor atau aktris, kan?” kata Walsh di Jakarta beberapa waktu lalu. Dengan terhubung langsung ke penggemarnya, maka itu akan memudahkan para selebritas untuk menjaga persona mereka di hadapan publik.
Bukan hanya Twitter. Blog-blog gosip seperti TMZ dan Perez Hilton pun, menurut Walsh, masih akan jauh dari habis.
Twitter, blog gosip, dan berbagai jaringan social media lainnya akan terus memperbesar skala industri hiburan. Mereka juga akan memiliki pengaruh atas keuntungan finansial industri tersebut.
Mike Walsh, yang mantan wartawan, datang ke Jakarta untuk bertemu dengan beberapa usaha rintisan (start-up) internet di Indonesia. Ia sedang mengumpulkan bahan untuk buku keduanya, The Divergence.
Inti buku kedua Walsh adalah tentang perkembangan internet di beberapa negara ekonomi baru. Indonesia menurut dia termasuk salah satu negara yang ledakan penggunaan dan kebudayaan internetnya tengah pesat berkembang.
Buku pertama Walsh, Futuretainment, mencoba memberikan bukti pada tesisnya bahwa ada semacam revolusi sosial yang tengah berlangsung, yang akan mengubah model bisnis media di berbagai belahan dunia. Termasuk mengubah cara-cara pemasaran sebuah produk.
Popularitas Twitter di Indonesia sudah sering terbukti dengan betapa seringnya kata-kata hasil sumbangan tweeps asal Indonesia berada di deretan trending topic. Mulai dari ‘nonton IMB’, ‘buka puasa’, atau ‘Igo Idol’. Pokoknya, sekali tuts Blackberry atau hape ikut bermain, sudah pasti ada trending topic dari Indonesia.
Menurut Walsh, ‘bermain-main’ adalah karakteristik pengguna internet dari negara-negara ekonomi baru. Yang membedakan kebiasaan berinternet negara-negara ekonomi baru (Brasil, India, China, Rusia, Indonesia, dan Mexico) serta di negara-negara Barat adalah pilihan bidang.
Walsh membahasakannya “internet of the West and the rest”. Kebiasaan berinternet di Barat, menurut dia, berawal dari kebutuhan akan informasi, transaksi ekonomi, dan pencarian berita. Sementara di negara-negara ekonomi baru ini, orang-orang pertama terjun ke internet dengan orientasi hiburan atau, spesifiknya, permainan daring.
Brasil contohnya, terfokus pada pencarian informasi tentang acara-acara televisi dan permainan daring. Begitu pula di Korea, Taiwan, atau Hong Kong. Permainan daring menjadi alasan utama orang terhubung dengan internet.
Sementara di India, empat konten internet utama adalah astrologi, Bollywood, olahraga cricket, dan aplikasi yang berhubungan dengan keagamaan. Di Indonesia, Facebook-lah yang menjadi daya tarik utama.
Berdasarkan catatan terakhir, sudah ada 25 juta orang yang terhubung ke Facebook. Lewat situs pertemanan inilah, jaringan audiens terbentuk. Lewat jejaring itu, semua orang bebas menentukan agenda pemberitaan masing-masing dan menjadi ‘penerbit’ buat berita yang mereka anggap penting.
Jika sebelumnya orang menganggap citizen journalism adalah orang-orang biasa yang kemudian menjalankan fungsi kewartawanan, menurut Walsh, ternyata tidak seperti itu. Yang terjadi sekarang adalah citizen distribution. Bukan hanya media-media konvensional yang menyebarkan berita, tapi semua orang bisa menyebarkan konten berita.
Dan tidak dalam definisi ‘berita’ seperti yang kita ketahui sebelumnya. Informasi tentang kemacetan di satu titik, komentar tentang aksi seorang selebritas, atau rekomendasi personal atas makanan yang enak di satu restoran, kini menjadi bagian dari berita yang disebar masing-masing orang.
Meski begitu, ini bukan akhir dari institusi media konvensional. Walsh memprediksi ada beberapa nama media cetak besar (ia menyebut contoh The Economist dan Financial Times) yang mampu bertahan. Tapi model bisnis media yang nantinya berlanjut di masa depan adalah kemunculan alternatif-alternatif media lokal yang lebih baik. Setidaknya ini adalah akhir bagi konglomerasi media.
Maka informasi-informasi yang berkaitan erat dengan lokasi (location-based) akan menjadi kunci utama ‘menguasai’ internet. Apalagi jika pasar yang disasar sangat berfokus pada penggunaan internet lewat akses mobile. Dan inilah tampaknya yang sedang terjadi di Indonesia.
Layanan micro-blogging Twitter mengizinkan penggunanya menjadi ‘penerbit’ isi pikiran masing-masing penggunanya hanya dalam batasan 140 karakter. Dari segi industri hiburan, layanan ini memungkinkan dan memudahkan para bintang untuk terus terhubung dengan penggemarnya.
Penggunaan platform social media ini kemudian dapat mengakselerasi gosip. Padahal gosip adalah kekuatan yang mendasari hidup atau matinya industri hiburan Hollywood. “Akui saja, yang paling banyak membuat orang datang ke bioskop dan menonton film itu adalah pesona dan persona si aktor atau aktris, kan?” kata Walsh di Jakarta beberapa waktu lalu. Dengan terhubung langsung ke penggemarnya, maka itu akan memudahkan para selebritas untuk menjaga persona mereka di hadapan publik.
Bukan hanya Twitter. Blog-blog gosip seperti TMZ dan Perez Hilton pun, menurut Walsh, masih akan jauh dari habis.
Twitter, blog gosip, dan berbagai jaringan social media lainnya akan terus memperbesar skala industri hiburan. Mereka juga akan memiliki pengaruh atas keuntungan finansial industri tersebut.
Mike Walsh, yang mantan wartawan, datang ke Jakarta untuk bertemu dengan beberapa usaha rintisan (start-up) internet di Indonesia. Ia sedang mengumpulkan bahan untuk buku keduanya, The Divergence.
Inti buku kedua Walsh adalah tentang perkembangan internet di beberapa negara ekonomi baru. Indonesia menurut dia termasuk salah satu negara yang ledakan penggunaan dan kebudayaan internetnya tengah pesat berkembang.
Buku pertama Walsh, Futuretainment, mencoba memberikan bukti pada tesisnya bahwa ada semacam revolusi sosial yang tengah berlangsung, yang akan mengubah model bisnis media di berbagai belahan dunia. Termasuk mengubah cara-cara pemasaran sebuah produk.
Popularitas Twitter di Indonesia sudah sering terbukti dengan betapa seringnya kata-kata hasil sumbangan tweeps asal Indonesia berada di deretan trending topic. Mulai dari ‘nonton IMB’, ‘buka puasa’, atau ‘Igo Idol’. Pokoknya, sekali tuts Blackberry atau hape ikut bermain, sudah pasti ada trending topic dari Indonesia.
Menurut Walsh, ‘bermain-main’ adalah karakteristik pengguna internet dari negara-negara ekonomi baru. Yang membedakan kebiasaan berinternet negara-negara ekonomi baru (Brasil, India, China, Rusia, Indonesia, dan Mexico) serta di negara-negara Barat adalah pilihan bidang.
Walsh membahasakannya “internet of the West and the rest”. Kebiasaan berinternet di Barat, menurut dia, berawal dari kebutuhan akan informasi, transaksi ekonomi, dan pencarian berita. Sementara di negara-negara ekonomi baru ini, orang-orang pertama terjun ke internet dengan orientasi hiburan atau, spesifiknya, permainan daring.
Brasil contohnya, terfokus pada pencarian informasi tentang acara-acara televisi dan permainan daring. Begitu pula di Korea, Taiwan, atau Hong Kong. Permainan daring menjadi alasan utama orang terhubung dengan internet.
Sementara di India, empat konten internet utama adalah astrologi, Bollywood, olahraga cricket, dan aplikasi yang berhubungan dengan keagamaan. Di Indonesia, Facebook-lah yang menjadi daya tarik utama.
Berdasarkan catatan terakhir, sudah ada 25 juta orang yang terhubung ke Facebook. Lewat situs pertemanan inilah, jaringan audiens terbentuk. Lewat jejaring itu, semua orang bebas menentukan agenda pemberitaan masing-masing dan menjadi ‘penerbit’ buat berita yang mereka anggap penting.
Jika sebelumnya orang menganggap citizen journalism adalah orang-orang biasa yang kemudian menjalankan fungsi kewartawanan, menurut Walsh, ternyata tidak seperti itu. Yang terjadi sekarang adalah citizen distribution. Bukan hanya media-media konvensional yang menyebarkan berita, tapi semua orang bisa menyebarkan konten berita.
Dan tidak dalam definisi ‘berita’ seperti yang kita ketahui sebelumnya. Informasi tentang kemacetan di satu titik, komentar tentang aksi seorang selebritas, atau rekomendasi personal atas makanan yang enak di satu restoran, kini menjadi bagian dari berita yang disebar masing-masing orang.
Meski begitu, ini bukan akhir dari institusi media konvensional. Walsh memprediksi ada beberapa nama media cetak besar (ia menyebut contoh The Economist dan Financial Times) yang mampu bertahan. Tapi model bisnis media yang nantinya berlanjut di masa depan adalah kemunculan alternatif-alternatif media lokal yang lebih baik. Setidaknya ini adalah akhir bagi konglomerasi media.
Maka informasi-informasi yang berkaitan erat dengan lokasi (location-based) akan menjadi kunci utama ‘menguasai’ internet. Apalagi jika pasar yang disasar sangat berfokus pada penggunaan internet lewat akses mobile. Dan inilah tampaknya yang sedang terjadi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar