Cak To tak  mau nama aslinya  dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat  ketika difoto untuk  harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak  tentang hidup dan  ”karir”-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut  mengemis, hingga  sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di  Surabaya.
Setelah puluhan tahun mengemis,  Cak To sekarang memang  bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak  perlu lagi meminta-minta  di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54  anak buahnya, uang  mengalir teratur ke kantong.
Sekarang, setiap hari, dia  mengaku  mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu.  Berarti,  dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9  juta.
Cak  To sekarang juga sudah punya  rumah di kawasan Surabaya Barat, yang  didirikan di atas tanah seluas  400 meter persegi. Di kampung halamannya  di Madura, Cak To sudah  membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya,  satu lagi untuk emak dan  bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu  lagi rumah yang dia  bangun di Kota Semarang.Untuk ke mana-mana,  Cak To  memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda  CR-V  kinclong keluaran 2004.
Tidak mudah menemui seorang bos   pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah   dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna   biru metalik.
Meski punya mobil yang kinclong,  penampilan Cak To  memang tidak terlihat seperti ”orang mampu”.  Badannya kurus, kulitnya  hitam, dengan rambut berombak dan terkesan  awut-awutan. Dari gaya  bicara, orang juga akan menebak bahwa pria  kelahiran 1960 itu tak  mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak  pernah menamatkan sekolah  dasar.
Dengan bahasa Madura yang  sesekali dicampur bahasa  Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar  bahwa profesinya akan  selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan  tersebut tidak peduli.  ”Yang penting halal,” ujarnya mantap.
Cak To bercerita, hampir   seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat   bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh   tahun. Menurut dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan   G-30-S/PKI.
Maklum, emak dan bapaknya dulu  pengemis di Bangkalan.  ”Dulu awalnya saya diajak Emak untuk  meminta-minta di perempatan,”  ungkapnya.
Karena mengemis di Bangkalan  kurang ”menjanjikan”,  awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke  Surabaya. Adik-adiknya  tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah  desa di sekitar  Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di  emprean sebuah  toko di kawasan Jembatan Merah.
Bertahun-tahun lamanya mereka   menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ”bakat” Cak To untuk   menjadi bos pengemis mulai terlihat.
Waktu itu, uang yang mereka   dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai   sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak   To-lah yang melawan. ”Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,”   ungkapnya bangga.
Meski berperawakan kurus dan  hanya bertinggi  badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia  bahkan tak segan  menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya  dirampas. Karena  keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut  lantas disegani di  kalangan pengemis. ”Wis tak nampek. Mon la nyalla  sebet (Kalau dia bikin  gara-gara, langsung saya sabet, Red),” tegasnya.
Selain harus  menghadapi preman,  pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau  keluarga lain  terkena razia petugas Satpol PP. ”Kami berpencar kalau  mengemis,”  jelasnya.
Kalau ada keluarga yang terkena  razia, mau  tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu  untuk  membebaskan.
***
Cak To tergolong pengemis yang  mau  belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ”ilmu” dia dapatkan  untuk  terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara  berbicara,  cara menghadapi aparat, dan sebagainya.
Makin lama, Cak To  menjadi  makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain.   Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan   Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ”Pokoknya   sudah enak,” katanya.
Dengan penghasilan yang terus  meningkat,  Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya.  Saat pulang  kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ”Saya  pernah beli  oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,” kenangnya.
Saat  itulah, Cak To mulai  meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia  mulai mengumpulkan  anak buah.
Cerita tentang ”keberhasilan”  Cak  To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya  ke  Surabaya. ”Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,”   ujarnya enteng.
Sebelum ke Surabaya, Cak To  mengajari mereka cara  menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus  dia lanjutkan ketika  mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan  Surabaya Barat. ”Kali  pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya  meyakinkan bahwa dengan  pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di  kampung,” tegasnya.
Karena  sudah mengemis sebagai  kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja.  Ada yang ke perumahan di  kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya  Timur.
Agar tidak mencolok, ketika  berangkat, mereka berpakaian  rapi. Ketika sampai di ”pos khusus”, Cak  To dan empat rekannya itu  lantas mengganti penampilan. Tampil  compang-camping untuk menarik iba  dan uang recehan.
Hanya setahun mengemis,  kehidupan empat rekan  tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi  menumpang di rumah Cak  To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.
Pada 1996 itu pula,  pada usia  ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang  gadis di  kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan   peningkatan…
***
Setiap tahun, jumlah anak buah  Cak To  terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula  setoran  yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia  sudah tidak  mengemis setiap hari.
Sebenarnya, Cak To tak mau  mengungkapkan  jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah  didesak, dia  akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300  ribu per hari,  yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.
Menurut Cak  To, dia tidak  memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta  setoran sukarela.  Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau  sebulan sekali. ”Ya  alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada  saya,” ucapnya.
Dari penghasilannya itu, Cak To  bahkan mampu  memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di  mana dia singgah.  Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah  masjid di Gresik.  ”Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup,  banyaklah beramal,”  katanya.
Sekarang, dengan hidup yang  sudah tergolong enak itu,  Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal  saja. ”Saya ingin naik haji,”  ungkapnya.

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar