Pada malam pembukaan Ubud Readers & Writers Festival 2010 di Pura Dalem, Ubud, penulis dan pembuat film asal Israel Etgar Keret membacakan cerita pendek yang menurutnya terinspirasi dari sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya tapi luput dilaporkan oleh media internasional, yaitu istrinya.
Cerita pendek berjudul 'Fatso' (Si Gendut) itu memiliki rasa humor yang macabre, bercampur dengan percakapan yang merekam kecanggungan dalam interaksi berpasangan. Tawa atau seruan terbuka dari para tamu yang hadir di Pura Dalem pada setiap twist di cerita pendek Keret menjadikannya bintang pada malam itu.
Etgar adalah penulis paling populer di kalangan anak muda Israel. Karya-karyanya sudah diterbitkan oleh New York Times, The Guardian, The Paris Review dan Zoetrope. Sekitar 40 film pendek sudah dibuat dari cerita-cerita pendeknya. Film yang ia buat, Skin Deep memeroleh penghargaan pertama pada beberapa festival film internasional dan mendapat 'Oscar' versi Israel.
Yahoo! Indonesia berkesempatan mewawancara Etgar Keret termasuk menanyainya tentang berbagai kesulitan yang harus ia alami untuk bisa masuk ke Indonesia dan ia juga bercerita tentang wajib militer di Israel, termasuk ketika ia bekerja di unit komputer dan pekerjaannya adalah menghitung jumlah stok kaus kaki.
Y!: Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Bagaimana Anda bisa masuk ke negara ini?
Etgar Keret (EK): Semua atas upaya tanpa henti dari Janet (de Neefe, Direktur Festival) dan Sarah (Tooth, Wakil Direktur Festival). Saya tidak tahu proses spesifik apa saja yang bisa membuat saya ada di sini. Tapi selama lima hari saya harus datang dan bicara ke Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok. Mereka terus-terusan bilang, Anda tidak akan mendapat visa, pulang sajalah. Tetapi Janet selalu bilang, mari bersabar dan tunggu satu hari lagi, sampai akhirnya saya mendapat visa. Ada satu alasan penting kenapa saya ingin sekali ke sini, saya bisa membuat iri teman-teman saya karena saya bisa melihat Bali. Dan mereka tidak akan bisa.
Y!: Oh ya?
EK: Sebenarnya, di setiap negara, apalagi di Indonesia yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, mereka memiliki ide yang abstrak akan Israel. Bagaimana rupa negara itu sebenarnya? Kehadiran saya mungkin bisa mengecewakan atau mungkin memenuhi pengharapan orang akan seperti apa orang Israel. Mungkin setelah ini Anda akan berpikir semua orang Israel itu pendek, jalannya aneh, atau punya celah di antara gigi mereka (Etgar mendeskripsikan dirinya sendiri). Dengan saya berada di sini, saya berkontribusi pada aspek memanusiakan sesuatu.
Y!: Apakah Anda membuat keputusan aktif untuk mengeluarkan politik dari karya-karya Anda?
EK: Saya tidak akan bilang begitu. Orang cenderung merujuk pada politik dengan cara yang 'tradisional', seolah itu adalah sesuatu yang eksterior, berada di luar kehidupan sehari-hari kita. Tetapi politik adalah tentang emosi-emosi manusia, tentang ketakutan pada sesuatu yang berbeda dari kita, tentang kasih sayang, saya tidak mau menghasilkan karya yang pada akhirnya memberikan pilihan, lakukan ini atau lakukan itu, tapi sesuatu yang menggambarkan ambiguitas kondisi manusia yang sebenarnya. Ketakutan pada hal yang asing adalah bagian dari itu.
Tidak ada yang problematik pada fiksi. Fiksi tidak untuk menggali lubang atau akan bisa menghentikan peluru. Fiksi adalah tentang banyak ambiguitas dan ketiadaan kesimpulan dalam hidup. Yang ingin saya tampilkan adalah kisah-kisah personal.
Y!: Apa yang Anda paling inginkan orang lain ketahui tentang Israel?
EK: Bahwa seperti banyak negara lainnya, Israel adalah tentang masyarakat yang penuh ambiguitas dan kontradiksi. Sama seperti setelah bom Bali misalnya, orang Barat akan mengira semua orang Indonesia adalah fundamentalis gila, tapi ketika mereka ke sini, mereka akan melihat berbagai macam orang dengan pandangan yang beragam. Tidak semuanya keputusan pemerintah Israel saya dukung, bahkan perdana menteri kami sekarang bukan perdana menteri yang saya pilih, tapi intinya Israel selalu dilihat sebagai satu figur tipikal, bahwa kebudayaan kami adalah sesuatu yang monolitik. Tapi sebenarnya ada orang religius di Israel, ada orang sekuler, ada liberal, sayap kanan, sayap kiri.
(Etgar juga bercerita bahwa saudara laki-lakinya adalah ketua dari organisasi pergerakan pelegalan ganja di Israel yang hampir menjadi sebuah partai politik)
Itulah makanya saya menganggap datang ke Bali ini sebagai sesuatu yang penting, karena saya ingin memberi orang kesempatan untuk bertemu seorang penulis Israel. Dan selalu ada keingintahuan ganda setiap saya ke festival, akan saya sebagai penulis dan bahwa saya berasal dari Israel.
Y!: Anda adalah penulis populer di kalangan anak muda Israel. Apakah memang Anda menulis untuk pembaca muda?
EK: Saya tidak memikirkan tentang pembaca saat menulis, tapi memang buku saya banyak dibaca oleh pembaca muda, pelajar, tentara muda yang sedang menjalani wajib militer mereka. Mungkin mereka menyukainya karena saya melakukan sesuatu yang berbeda dan karya saya lebih mudah dipahami. Artinya, tidak ada pengharapan tradisional dari mereka terhadap karya saya. Tapi saya tidak akan menyebut karya saya itu tulisan untuk remaja.
Y!: Selain di Israel, di mana buku Anda paling banyak dibaca?
EK: Prancis, Jerman, Polandia. Mungkin itu. Oh, di Amerika Serikat. Bahkan paling banyak karya saya dibaca di luar Israel adalah di Amerika Serikat.
Y!: Dalam cerita pendek dan presentasi Anda di sini, selalu ada humor gelap yang terselip. Apakah humor gelap itu adalah gaya Anda?
EK: Seringnya, humor adalah senjata bagi mereka yang lemah. Jika kita tidak bisa mengubah sesuatu atau ketakutan akan sesuatu, maka kita membuatnya jadi humor. Kita bercanda tentang kematian, murid membuat lelucon tentang gurunya, nah banyak hal-hal yang tidak bisa saya ubah seperti itu ada dalam hidup saya.
Daripada saya menjadi sosok yang menyedihkan atau menjadi agresif akan hal-hal tersebut, saya memilih humor. Dan bukan sinis juga, sinis menandakan semacam bentuk pelepasan diri, keacuhan, sementara saya lebih memilih ironis akan hal-hal yang paling saya benci.
Saya bisa membuat humor tentang ayah saya, tentang ibu saya, tentang keluarga saya. Mungkin itu yang disebut kekhasan humor Yahudi, kami mengolok-olok sebagai sebuah bentuk kehangatan. Lelucon dibuat untuk mendekatkan dan bukan untuk menjauhkan.
Y!: Siapa yang memengaruhi karya-karya Anda?
EK: Saya membaca Kafka saat melakukan wajib militer. Saat itu saya merasa lega karena ternyata ada orang jauh yang lebih tertekan dan kacau dibanding saya. Lalu saya membaca banyak Kurt Vonnegut, Gogol, dan Babel.
Y!: Apakah Anda menyukai film-film Woody Allen?
EK: Ya, saya menyukainya. Kami berbeda dari segi retorika, tapi saya menghargai karya-karyanya.
Y!: Ceritakan lagi tentang mekanisme humor Yahudi, bagaimana karakteristiknya?
EK: Humor Yahudi itu selalu sangat penuh refleksi, mungkin karena kami terbiasa tersebar dan selalu berada di luar, di pinggiran masyarakat, sebagai orang luar. Sekaligus sebagai orang dalam di sebuah komunitas yang berada di pinggiran. Misalnya saja, kamu orang Yahudi di Indonesia, maka kamu akan mengolok-olok orang Indonesia dari sisi Yahudi, sementara kamu juga akan membuat olok-olok tentang orang Yahudi dari sisi keindonesiaan kamu. Berpindah-pindah antara dua lapisan inilah yang kritis dalam menghasilkan humor Yahudi yang khas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar