Ledakan dahsyat di tata surya jadi ancaman besar untuk Bumi, namun bencana itu mungkin telah mengirimkan air dan membuat planet yang dihuni manusia ini memiliki daya dukung bagi kehidupan.
Untungnya, proses tumbukan yang terjadi di masa 'remaja' Bumi tak berakhir seperti dampak yang dialami Bulan.
Cerita soal 'kelinci Bulan' atau 'nenek Bulan' sudah familiar bagi kita sejak masa kanak-kanak. Mitos itu tetap terpelihara, meski kita tahu, penampakan menyerupai kelinci atau manusia tak lain adalah kawah Bulan.
Ketika manusia mulai menjelajah Bulan, misteri satelit Bumi ini berangsur terkuak. Sampel batuan Bulan yang dibawa pulang astronot Apollo menguak fakta aneh -- bahwa seperti halnya Bumi, Bulan dibombardir asteroid dalam waktu yang sama, sekitar 3,9 miliar tahun lalu.
Ini adalah bukti nyata dari suatu periode keras dalam sejarah tata surya yang dikenal sebagai 'pemboman dahsyat'.
Bulan terbukti bukan satu-satunya target. Bahkan, Bumi dilempari 'bom' secara lebih intensif -- meski proses geologi aktif menghapus kebanyakan bukti-bukti tumbukan.
Penyebab pasti dari peristiwa ini belum diketahui. Pada 2005, muncul dugaan bahwa itu diakibatkan pergumulan empat planet raksasa -- Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.
Sedikit penyimpangan orbit Saturnus dan Yupiter menyebabkan periode orbit Saturnus menjadi persis dua kali lipat dari Jupiter. "Resonansi" gravitasi terguncang oleh orbit dari keempat planet raksasa tersebut. Proses ini menembakkan komet dan asteroid terdekat menuju tata surya bagian dalam.
Namun kita beruntung. Maksudnya? Seperti diketahui, Bumi adalah planet ketiga terdekat dengan Matahari -- setelah Merkurius dan Venus.
Kondisi ini terlalu panas bagi terbentuknya air. Sementara, komet dan asteroid yang letaknya lebih jauh mengandung es yang melimpah. Tampaknya masuk akal -- anggapan air pertama Bumi dikirimkan melalui proses bombardir komet dan asteroid.
Pemboman dahsyat terakhir diperkirakan memiliki dampak lebih langsung bagi asal-usul kehidupan di Bumi. Inilah yang menciptakan fitur keras di permukaan Bumi.
"Bayangkan kolam batuan yang mencair di permukaan Bumi seukuran Afrika," kata Stephen Mojzsis, ahli geologi dari University of Colorado, seperti dimuat Newscientist, 30 September 2010.
Tapi ketika itu mendingin, kawah itu akan menjadi situs ideal untuk memulai kehidupan -- kata Charles Cockell dari Open University di Milton Keynes, Inggris.
Sementara, sisa-sisa panas menggerakkan reaksi kimia dalam air hangat yang beredar melalui bebatuan.
Bagaimana jika saat itu sudah ada kehidupan? Menurut Mojzsis, peristiwa ini mengubah jalannya evolusi. Tak ada mahluk Bumi yang tersisa, kecuali mikroba yang paling toleran dengan panas.
"Ini adalah kisah kehidupan - kepunahan masal adalah permulaan bagi kehidupan yang baru," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar