Pemerintah, melalui Kementerian Sosial RI (Kemensos), sedang menggodok 10 nama tokoh untuk diusulkan memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Di antara kesepuluh tokoh tersebut terdapat nama mantan Presiden RI ke- 2, Jenderal Besar TNI (Purn) HM Soeharto.
Selain Soeharto, mantan Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin ada di dalam 10 nama tersebut.
Seperti yang dilansir detikcom, Minggu (17/10), awalnya ada 18 nama tokoh yang diusulkan masyarakat untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional. Setelal dilakukan pengecekan data dan verifikasi, 18 nama itu menciut menjadi 10 nama.
Yaitu Ali Sadikin dari Jawa Barat, HM Soeharto dari Jawa tengah, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari Jawa Timur. Kemudian Pakubuwono X dari Jawa tengah, Sanusi dari Jawa Barat, Andi Depu dari Sulawesi Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tenggara dan Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan. Lalu Johannes Leimena dari Maluku serta Abraham Dimara dari Papua.
Setelah masuk di Kemensos dan lolos verifikasi, 10 nama ini akan dibawa ke Dewan Gelar, Tanda Kehormatan dan Tanda Jasa yang dipimpin oleh Menkopolhukam. Lalu Menkopolhukam akan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Prosesnya memang panjang dan penilaiannya berdasarkan banyak kriteria.
Kontroversi pun mencuat. Pantaskah Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional?
Ada yang mengatakan kalau mantan Pangkostrad itu tak layak jadi pahlawan. Alasannya dosa Soeharto sebagai komandan militer dan juga pemimpin pemerintahan terlalu banyak. Mulai dari perannya dalam pemberangusan anggota atau orang-orang yang dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca tragedi 30 September 1965.
Peristiwa Malari 1974, Penembakan Misterius (Petrus) yang melegenda itu, peristiwa Tanjung Priok, dugaan pelanggaran HAM selama ABRI berada di Timor Timur, sekarang Timor Leste, Operasi Jaring Merah di Aceh, yang lebih dikenal dengan istilah Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh hingga peristiwa Mei 1998.
Banyak pihak menilai kalau Soeharto mengetahui, memerintahkan dan juga bertanggung jawab terhadap sederet peristiwa penculikan, penembakan, penyiksaan, pengekangan hingga pencekalan yang dialami banyak orang saat pemerintahan Orde Baru berkuasa sejak 1967 hingga 1998.
Bukan hanya pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada pria kelahiran ..., dugaan korupsi juga seakan melekat dengan sosok pria yang memiliki senyum khas ini. Transparancy International (TI), lembaga yang mengamati dan mempelajari korupsi di dunia, menyebutkan kalau Soeharto masuk daftar salah satu kepala negara terkorup dalam 20 tahun terakhir.
Soeharto juga dituding menyalahgunakan kewenangannya sebagai presiden dengan memberikan berlimpah kemudahan kepada anak-anaknya dan segelintir pengusaha keturunan Tionghoa yang dekat dengannya untuk melebarkan sayap bisnis mereka. Hasilnya konglomerasi yang korup dan rapuh menghancurkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Indonesia pun tenggelam dalam krisis ekonomi di tahun 1997-1998.
Meski dituding memiliki kesalahan yang banyak, Soeharto tidak pernah dibawa ke pengadilan. Mulai dari Presiden BJ Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY, tidak bisa menyeret Soeharto duduk di depan meja hijau hingga yang bersangkutan meninggal dunia 27 Januari 2008 lalu.
Sebelum meninggal alasan kesehatan Soeharto selalu menjadi polemik Apakah layak ia diadili sebagai terdakwa dengan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk ketika itu?
Jaksa Agung di masa pemerintahan Gus Dur, Baharudin Lopa, sempat berujar kalau ia memiliki bukti yang cukup atas dugaan korupsi yang dialamatkan kepada Soeharto. Sayang, Baharudin Lopa keburu meninggal di Arab Saudi tak lama setelah menyatakan akan mengadili Soeharto. Hingga detik ini, tak ada Jaksa Agung yang memiliki keberanian seperti Baharudin Lopa.
Walau dosa dan kesalahan Soeharto dinilai banyak, ada juga yang berpendapat kalau Bapak Pembangunan itu pantas menjadi pahlawan. Selama 32 tahun ia berkuasa, ada juga hal baik yang telah dihasilkan pemerintahan Orde Baru.
Kita tak boleh lupa kalau Indonesia pernah berswasembada pangan di tahun 1980-an. Keamanan dan ketertiban umum di masa pemerintahannya berjalan dengan baik. Tidak ada tindakan premanisme melembaga dan aksi teror yang merajalela. Konflik horizontal juga minim selama Soeharto berkuasa.
Tak hanya itu kedaulatan NKRI benar-benar terjaga dengan kokoh karena negara tetangga segan dengan Indonesia ketika itu. Kehidupan perekonomian pun lebih stabil.
Sekarang tinggal bagaimana Presiden SBY memutuskan apakah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto atau tidak. SBY harus memperhatikan perasaan dan hak-hak banyak orang yang menjadi korban kebijakan politik Soeharto. Tapi SBY tak boleh mengesampingkan jasa dan prestasi yang pernah dicapai Soeharto.
Melihat kesalahan dan keburukan orang lain memang lebih mudah dibanding memuji prestasinya. Jika memang Soeharto memiliki banyak dosa, hendaknya kesalahannya bisa dijadikan pelajaran berharga bagi pemimpin dan bangsa ini.
Pelajaran agar kita semua tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh Soeharto dan pemerintahan Orde Baru. Pelajaran supaya kita semua bisa lebih baik dan arif untuk membangun dan mensehjaterakan bangsa ini.
Sayangnya, suka atau tidak suka, kita semua tak pernah bisa belajar dari kesalahan masa lalu atau dosa pendahulu kita.
Dua belas tahun Soeharto lengser, korupsi makin mengganas seperti kanker di negeri ini. Sistem ekonomi belum juga memihak rakyak kebanyakan. Birokrat masih saja bermental penjilat, korup dan lelet. Pejabat makin senang dimanja dan disogok. Rakyatnya lebih suka mencurigai, berkelahi dan menebar firnah satu sama lain. Batas negara diterabas oleh negara lain. Sumber daya alam habis disedot tak tentu arah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar