Minggu, 04 April 2010
Wanita Indonesia Dihargai 45.000 Euro
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama tidak hanya ramai dibicarakan di dalam negeri, tetapi juga di negeri seberang. Di Tanah Air, sejauh berita yang saya ikuti, diskursus seputar RUU ini banyak menyoroti soal kawin siri dan kawin kontrak, terutama soal pidananya. Bagi kami yang tinggal di luar negeri, hal menarik yang kami gunjingkan adalah mengenai kawin campur.
Ya, kawin campur pun menjadi obyek hukum dalam RUU tersebut. Dalam Bab VI RUU itu diatur. Pria warga negara asing (WNA) yang hendak memperistri perempuan Indonesia diwajibkan menyerahkan uang jaminan. Jumlahnya Rp 500 juta. Wow!
Disebutkan, uang itu adalah jaminan nafkah bagi perempuan Indonesia jika sang suami “bule” pergi tanpa pemberitahuan. Namun, uang itu tidak diserahkan kepada sang istri, tetapi dititipkan ke Bank Syariah.
Saya paham, RUU ini disusun dengan semangat melindungi wanita Indonesia. Akan tetapi, izinkan saya melihatnya dari perspektif yang berbeda, dari perspektif kami para pelaku kawin campur. Alih-alih melindungi para wanita, saat ini sejumlah wanita Indonesia yang saya kenal sedang menjalin asmara dengan pria asing mulai pening membayangkan kerunyaman jika mereka harus menikah setelah RUU ini disahkan. Pria “bule”-nya bisa jadi kebakaran jenggot karena harus membayar setengah miliar rupiah untuk mempersunting srikandinya.
Panik? Tentu saja. Saat membaca berita ini saya terkejut bukan main. Saya hubungi beberapa teman Indonesia yang menikah dengan pria asing. Semuanya menyatakan rasa tak percaya. Bahkan, ada yang bilang berita itu hanya isapan jempol. Mereka baru percaya setelah membacanya sendiri di internet.
Menikah adalah ibadah
Saya jadi ingat bagaimana pernikahan kami dulu. Emas kawinnya berupa seperangkat alat shalat dan uang menurut tanggal pernikahan kami. Saya bersyukur bisa menikah secara agama karena kami satu keyakinan. Kami mencatatkan perkawinan kami secara negara, baik di Indonesia maupun di Perancis.
Kenangan pernikahan sederhana kami masih melekat dalam memori saya hingga kini. Namanya juga melaksanakan salah satu ibadah, tentunya kemudahan haruslah teriringi, insya Allah. Saya masih ingat betul siapa saja para tamu yang datang hingga dekorasi dan berlangsungnya acara.
Saya tak memungkiri banyak pria “bule” yang merasa nyaman hidup bersama tanpa ikatan njelimet pernikahan. Hidup bersama tanpa ikatan macam itu adalah hal lumrah bagi mereka. Namun, jangan juga salah menilai. Umumnya bagi mereka pernikahan tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan berumah tangga. Apalagi setelah lahirnya anak, biasanya ikatan resmi pun terjalin entah secara agama atau hanya catatan sipil. Ketika seseorang hidup lama dalam suatu bangsa yang memiliki tradisi serta agama yang merupakan faktor penting dalam kehidupan manusianya, mata, hati, dan otak mereka pun ikut menangkap dan kadang menjadi bagian dalam dirinya.
Contohnya Kang Dadang saja, ya. Ia lama menetap di Jakarta saat sekolah, lalu bekerja di Bandung. Tradisi kebudayaan masyarakat Perancis sudah terpatri dalam dirinya. Namun, keyakinan baru yang dianutnya dan adaptasinya akan adat istiadiat Indonesia tempat dia tinggal membuatnya berkata: hidup bersama sebelum nikah no way!
Maka, saat kami berdua merasa matang secara fisik dan pikiran, kami berdua memutuskan menikah. Hanya saat itu kami berdua masih sangat muda memang, baru memulai karier dalam pekerjaan. Kondisi keuangan kami, istilahnya, masih standar. Namun, alhamdulillah kami bisa membiayai pernikahan kami sendiri.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya nasib pernikahan kami jika kala itu Kang Dadang harus menyetor uang sebesar Rp 500 juta. Uang dari mana? Tak ada pilihan lain, kami pasti harus cari utangan. Tapi, kok jadi lucu ya, alih-alih mencari kebahagiaan kok malah jadi terbelit utang.
Bukan jaminan
Uang sebesar Rp 500 juta itu sangat banyak, seharga satu rumah di real estate. Memang, tertulis dalam berita yang saya baca, uang tersebut sebagai jaminan bagi wanita Indonesia bila suatu saat si pria “bule” kabur! Saya jadi sedih membacanya. Wanita Indonesia dihargai dengan harga pasti di mata pria asing, yaitu Rp 500 juta. Maaf, jadi seperti ... ah tak sanggup saya menulisnya. Sedih sekali.
Saat saya menceritakan hal ini kepada beberapa teman Perancis saya, mereka spontan berujar setengah bercanda, “Ohhh, jadi sekarang wanita Indonesia ada harganya ya? Mahal juga harga kalian, sekitar 45.000 euro! Wow!”
Saya jadi berpikir, mudah sekali mengeluarkan peraturan dengan jaminan rupiah. Seolah-olah dengan jumlah uang tersebut, hak asasi wanita Indonesia yang menikah dengan orang asing terlindungi. Saya setuju jika adanya jaminan bagi wanita Indonesia yang dinikahi oleh orang asing. Namun, bukannya jaminan yang kesannya mata duitan.
Mengapa pandangan orang selalu picik terhadap pria asing? Karena banyaknya kasus? Terlalu banyak pria asing yang menikahi wanita Indonesia sebagai tameng untuk membeli lahan di Tanah Air, misalnya. Atau contoh lain, banyak pria asing yang pergi meninggalkan anak istri Indonesianya setelah masa kontrak kerja mereka habis. Bukankah itu sebenarnya masalah hukum Indonesia yang sangat lemah? Yang tak mampu melindungi warganya hingga begitu mudah memberikah izin nikah siri kepada si pria asing karena sodoran lembaran rupiah yang diterimanya?
Lalu, bagi pasangan yang awet, adem-ayem hingga akhir hayatnya, akan ke manakah larinya uang tersebut? Apalagi menurut peraturan yang berlaku, uang jaminan itu tak berbunga. Jadi, misalnya, jika menikah tahun ini mengeluarkan Rp 500 juta dan pernikahan mereka bubar 50 tahun kemudian, apa artinya Rp 500 juta pada 50 tahun mendatang. Lalu, apa jaminannya kalau uang sebesar setengah miliar rupiah tersebut nantinya akan pasti menjadi hak milik si wanita tanpa harus melewati proses yang berliku? Atau malah jangan-jangan untuk mendapatkan hak miliknya harus keluar lembaran rupiah hingga jutaan?
Ada satu komentar teman yang menggelitik hati saya. “Kalau saya jadi wanita Indonesia, saya tentunya cari pria asing karena saya sudah pasti akan dapat 45.000 euro, benar, kan? Lalu, tiga atau empat tahun saya tinggalkan, toh hasilnya tetap sama kan? Uang itu akan jadi milik saya,” canda dia.
“Tidak semudah itu,” sergah saya, “ tidak semua 'bule' kaya dan mampu mengeluarkan uang sebesar itu hanya untuk jaminan. Menikah di Indonesia tidak murah, di luar urusan jaminan ada uang yang harus dikeluarkan untuk pesta. Terlebih, biasanya saat menikah semuanya serba baru dimulai. Nah, kalau baru mulai saja sudah susah dari segi keuangan, bagaimana rumah tangganya bisa adem-ayem?”
Lain lagi komentar beberapa teman wanita Indonesia saya. “Itu sama saja dengan menjerumuskan orang untuk kumpul kebo! Tahu sendiri dong, orang 'bule' sih enggak nikah juga enggak apa-apa. Eh, sekalinya mereka berniat untuk nikah malah susah banget, mendingan ajak si wanitanya hidup bareng deh!”
Menurut hemat saya, ada yang tidak adil dalam urusan ini. Kenapa yang dipersoalkan adalah pernikahan beda bangsa. Bagaimana dengan pernikahan satu bangsa? Bukankah permasalahannya bisa saja sama. Banyak pria Indonesia yang menelantarkan anak dan istri tuanya karena menikah lagi dengan istri muda dan tak sedikit yang punya tiga istri muda. Tidak patutkah mereka pun mendapatkan jaminan?
Uang bukanlah jalan keluar untuk menjamin hak seseorang walaupun tak dimungkiri bisa membantu jalannya kehidupan. Namun, bagi saya pribadi, jaminan uang sebesar Rp 500 juta ini hanya semakin menunjukan betapa lemahnya hukum di negara kita.
Mengapa tidak dibicarakan secara matang dan terbuka kepada para wanita yang telah menikah dengan pria asing atau korban wanita Indonesia yang ditinggalkan suami asingnya? Saya yakin kami para pasangan campur siap mendiskusikan masalah ini dan mencari jalan keluar berupa kekuatan hukum yang bisa melindungi wanita Indonesia dalam masalah kawin campur. Pengalaman pahit yang dialami akibat pernikahan lain bangsa janganlah dipandang hanya dari segi materi saja.
Usia pernikahan saya dan David (Kang Dadang) telah 11 tahun. Seperti halnya pernikahan satu bangsa, aral selalu ada, tapi tak pernah terlintas salah satu akan menjadi korban. Di kota saya ada satu pasangan campuran yang telah menikah selama 45 tahun. Dan, masih banyak lainnya yang telah berumah tangga selama puluhan tahun. Pria asing yang mempersunting wanita Indonesia tak melulu karena ada udang di balik batu, banyak yang memang didasari cinta.
Saat pemerintah mengeluarkan undang-undang dwi kewarganegaraan bagi anak dari pasangan campuran, saya acungkan jempol karena mampu menunjukkan peningkatan dalam melindungi hak wanita bangsanya. Jadi, mengapa tak diteruskan melindungi wanita Indonesia dengan kebijakan dan kekuatan hukum yang lebih lebih kokoh dan bermanfaat. Saya berharap semoga masalah ini bisa terselesaikan dengan kebijakan baik. Karena, bagi saya, pernikahan merupakan suatu ibadah. Ibadah yang kuat dari segi hukum agama dan negara, bukannya kuat dari segi uangnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar