Hemofilia sudah menjadi bagian hidup Fikri, seorang bocah yang masih  duduk di bangku sekolah dasar. Sepanjang hidupnya, Fikri harus berdamai  dengan gangguan akibat kelainan darah yang dideritanya itu.
Jika teman sebayanya sedang giat beraktivitas fisik, Fikri justru  harus berhati-hati. Benturan sedikit saja bisa meninggalkan bengkak di  tubuhnya. Dia bercerita, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Puncak  guna mengikuti kegiatan komunitas hemofilia beberapa waktu lalu, Fikri  pun mengalami perdarahan lantaran beberapa jam saja duduk di dalam  kendaraan.
Fikri yang suka dengan permainan bola itu pun lebih banyak menonton  teman-temannya melakukan olahraga tersebut. Belum lagi repotnya  menghadapi teman sebaya. ”Teman yang tahu penyakit saya kadang malah  sengaja iseng menjatuhkan saya,” katanya.
Ari (30), sudah lebih terbiasa dengan kondisinya. Hanya saja, kerap  dia kecewa lantaran masih banyak masyarakat yang salah kaprah dengan  hemofilia. ”Ada yang mengira hemofilia itu kanker stadium akhir sehingga  waktu hidup saya tidak lama lagi,” ujarnya sambil tersenyum.
Lantaran penyakit tersebut, Ari sempat ditolak oleh sebuah  perusahaan ketika melamar bekerja.
Sejak zaman dahulu
Hemofilia merupakan gangguan pembekuan darah yang bersifat genetik  atau diturunkan. Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI)  Prof HS Moeslichan mengungkapkan, gangguan itu disebabkan kurang atau  hilangnya salah satu faktor pembeku darah (faktor VIII atau IX). Angka  kejadian hemofilia A (kekurangan faktor VIII) 1 dalam 5.000-10.000  kelahiran bayi laki-laki. Adapun hemofilia B (kekurangan faktor IX) 1  dalam 23.000-30.000 kelahiran bayi laki-laki.
”Hemofilia A merupakan jenis terbanyak, sekitar 85 persen,” ujar  Moeslichan dalam acara jumpa pers menyambut Hari Hemofilia Sedunia yang  diperingati setiap 17 April.
Dalam sejarahnya, hemofilia kerap disebut ”The Royal Diseases” atau  penyakit kerajaan. Konon, Ratu Inggris, Ratu Victoria (1837-1901),  merupakan seorang pembawa sifat hemofilia. Mengutip situs  www.hemofilia.or.id, anak Victoria kedelapan, Leopold, adalah seorang  pengidap hemofilia dan sering mengalami perdarahan.
Hal itu diberitakan dalam British Medical Journal pada tahun 1868.  Leopold meninggal dunia akibat perdarahan otak pada saat berumur 31  tahun. Cucu laki-laki Ratu Victoria, Viscount Trematon, juga meninggal  akibat perdarahan otak pada tahun 1928.
Kelainan serupa juga ada di dalam keluarga Kerajaan Rusia. Dua dari  anak perempuan Ratu Victoria, Alice dan Beatrice, ialah pembawa sifat  (carrier). Mereka menyebarkan penyakit hemofilia ke Spanyol, Jerman, dan  Keluarga Kerajaan Rusia.
Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Hemofilia RSUPN dr Cipto Mangunkusumo  Prof Djajadiman Gatot menjelaskan, hemofilia diturunkan secara genetik.  Sekitar 80 persen pengidap mempunyai riwayat hemofilia dalam keluarga.  Perempuan menjadi pembawa sifat. Hal ini dapat diketahui dengan  menganalisis setiap garis keturunan atau tes DNA.
Pada 20 persen kasus lainnya, pengidap kelainan tersebut tidak  mempunyai riwayat hemofilia.
Hemofilia terjadi akibat mutasi gen, antara lain perubahan struktur  sel telur sang ibu atau sel sperma sang ayah. Itu artinya hemofilia  dapat hadir pada setiap keluarga.
Pembekuan darah gagal
Pada proses pembekuan darah normal, ketika terjadi luka pada dinding  pembuluh darah, pembuluh darah akan mengerut untuk mengurangi  perdarahan. Setelah itu terjadi pembentukan bekuan darah sementara lalu  diikuti pembentukan bekuan darah yang stabil. Pembekuan darah normal itu  melibatkan faktor pembuluh darah trombosit dan faktor pembekuan darah.
Hanya saja, pada orang dengan hemofilia terjadi kekurangan faktor  pembekuan darah, yaitu faktor VIII dan faktor IX sehingga terus terjadi  perdarahan. Orang dengan hemofilia berat dapat mengalami episode  perdarahan 1-2 kali seminggu.
”Keluhan mulai timbul ketika bayi mulai merangkak. Pada fase itu  mulai terjadi benturan-benturan. Terkadang pembengkakan tidak disadari  oleh orangtua sehingga hemofilia baru diketahui setelah anak laki-laki  dikhitan dan luka tak kunjung sembuh,” ujar Djajadiman.
Perdarahan paling sering terjadi di lutut dan siku lantaran  merupakan sendi engsel dan rawan salah arah pergerakan sehingga  menimbulkan trauma.
Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kecacatan di berbagai  bagian tubuh. Perdarahan lainnya ialah perdarahan berupa lebam kebiruan  di kulit, perdarahan di otak, perdarahan di saluran kemih, dan mimisan.  Tingkat kematian sangat tinggi jika terjadi perdarahan di otak.
Terapi guna menangani kekurangan faktor VIII dan IX terus  berkembang. Dahulu bisa diatasi dengan transfusi. Faktor pembekuan darah  didapat dari donor dengan risiko ikut masuknya berbagai penyakit  seperti Hepatitis B dan C.
Pengobatan semakin maju dengan terapi pengganti faktor VIII dan IX  dengan konsentrat faktor pembekuan darah dari plasma darah. Kini sudah  ada terapi rekombinan diformulasikan dengan sukrosa dan bukan dengan  albumin manusia sebagai penstabil untuk mengurangi risiko pasien  terpapar virus.
Pemberian pengganti faktor VIII tersebut harus diulang setelah  khasiatnya habis dan biayanya mahal. Untuk terapi pengganti faktor  VIII/IX yang bersifat pencegahan (profilaksis), kata Djajadiman,  biayanya mencapai Rp 100 juta per tahun bagi pengidap dengan berat badan  25 kg. Pengidap hemofilia yang harus menjalani pembedahan butuh banyak  faktor pengganti sehingga biaya bisa mencapai Rp 1 miliar.
Akibat mahalnya pengobatan tersebut, hemofilia disebut sebagai  penyakit katastropik. ”Sayangnya, asuransi swasta belum mencakup  pelayanan hemofilia,” ujar Djajadiman.
Jika ditangani dengan baik, pengidap hemofilia dapat hidup sehat,  berkualitas, dan produktif. Di negara maju, usia harapan hidup dan  produktivitas orang dengan hemofilia sangat tinggi.
Hari Hemofilia Sedunia, misalnya, menandai tanggal kelahiran Frank  Schnabel—pendiri World Federation of Hemophilia. Frank adalah seorang  pengusaha di Kanada yang mengalami hemofilia dan hidup produktif hingga  hari tuanya. Tampaknya, masih panjang harapan bagi mereka yang hidup  dengan hemofilia....

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar