Selasa, 20 April 2010

Hidup dengan Hemofilia

Hemofilia sudah menjadi bagian hidup Fikri, seorang bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Sepanjang hidupnya, Fikri harus berdamai dengan gangguan akibat kelainan darah yang dideritanya itu.
Jika teman sebayanya sedang giat beraktivitas fisik, Fikri justru harus berhati-hati. Benturan sedikit saja bisa meninggalkan bengkak di tubuhnya. Dia bercerita, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Puncak guna mengikuti kegiatan komunitas hemofilia beberapa waktu lalu, Fikri pun mengalami perdarahan lantaran beberapa jam saja duduk di dalam kendaraan.

Fikri yang suka dengan permainan bola itu pun lebih banyak menonton teman-temannya melakukan olahraga tersebut. Belum lagi repotnya menghadapi teman sebaya. ”Teman yang tahu penyakit saya kadang malah sengaja iseng menjatuhkan saya,” katanya.

Ari (30), sudah lebih terbiasa dengan kondisinya. Hanya saja, kerap dia kecewa lantaran masih banyak masyarakat yang salah kaprah dengan hemofilia. ”Ada yang mengira hemofilia itu kanker stadium akhir sehingga waktu hidup saya tidak lama lagi,” ujarnya sambil tersenyum.

Lantaran penyakit tersebut, Ari sempat ditolak oleh sebuah perusahaan ketika melamar bekerja.

Sejak zaman dahulu

Hemofilia merupakan gangguan pembekuan darah yang bersifat genetik atau diturunkan. Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Prof HS Moeslichan mengungkapkan, gangguan itu disebabkan kurang atau hilangnya salah satu faktor pembeku darah (faktor VIII atau IX). Angka kejadian hemofilia A (kekurangan faktor VIII) 1 dalam 5.000-10.000 kelahiran bayi laki-laki. Adapun hemofilia B (kekurangan faktor IX) 1 dalam 23.000-30.000 kelahiran bayi laki-laki.

”Hemofilia A merupakan jenis terbanyak, sekitar 85 persen,” ujar Moeslichan dalam acara jumpa pers menyambut Hari Hemofilia Sedunia yang diperingati setiap 17 April.

Dalam sejarahnya, hemofilia kerap disebut ”The Royal Diseases” atau penyakit kerajaan. Konon, Ratu Inggris, Ratu Victoria (1837-1901), merupakan seorang pembawa sifat hemofilia. Mengutip situs www.hemofilia.or.id, anak Victoria kedelapan, Leopold, adalah seorang pengidap hemofilia dan sering mengalami perdarahan.

Hal itu diberitakan dalam British Medical Journal pada tahun 1868. Leopold meninggal dunia akibat perdarahan otak pada saat berumur 31 tahun. Cucu laki-laki Ratu Victoria, Viscount Trematon, juga meninggal akibat perdarahan otak pada tahun 1928.

Kelainan serupa juga ada di dalam keluarga Kerajaan Rusia. Dua dari anak perempuan Ratu Victoria, Alice dan Beatrice, ialah pembawa sifat (carrier). Mereka menyebarkan penyakit hemofilia ke Spanyol, Jerman, dan Keluarga Kerajaan Rusia.

Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Hemofilia RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Prof Djajadiman Gatot menjelaskan, hemofilia diturunkan secara genetik. Sekitar 80 persen pengidap mempunyai riwayat hemofilia dalam keluarga. Perempuan menjadi pembawa sifat. Hal ini dapat diketahui dengan menganalisis setiap garis keturunan atau tes DNA.

Pada 20 persen kasus lainnya, pengidap kelainan tersebut tidak mempunyai riwayat hemofilia.
Hemofilia terjadi akibat mutasi gen, antara lain perubahan struktur sel telur sang ibu atau sel sperma sang ayah. Itu artinya hemofilia dapat hadir pada setiap keluarga.

Pembekuan darah gagal

Pada proses pembekuan darah normal, ketika terjadi luka pada dinding pembuluh darah, pembuluh darah akan mengerut untuk mengurangi perdarahan. Setelah itu terjadi pembentukan bekuan darah sementara lalu diikuti pembentukan bekuan darah yang stabil. Pembekuan darah normal itu melibatkan faktor pembuluh darah trombosit dan faktor pembekuan darah.

Hanya saja, pada orang dengan hemofilia terjadi kekurangan faktor pembekuan darah, yaitu faktor VIII dan faktor IX sehingga terus terjadi perdarahan. Orang dengan hemofilia berat dapat mengalami episode perdarahan 1-2 kali seminggu.

”Keluhan mulai timbul ketika bayi mulai merangkak. Pada fase itu mulai terjadi benturan-benturan. Terkadang pembengkakan tidak disadari oleh orangtua sehingga hemofilia baru diketahui setelah anak laki-laki dikhitan dan luka tak kunjung sembuh,” ujar Djajadiman.

Perdarahan paling sering terjadi di lutut dan siku lantaran merupakan sendi engsel dan rawan salah arah pergerakan sehingga menimbulkan trauma.

Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kecacatan di berbagai bagian tubuh. Perdarahan lainnya ialah perdarahan berupa lebam kebiruan di kulit, perdarahan di otak, perdarahan di saluran kemih, dan mimisan. Tingkat kematian sangat tinggi jika terjadi perdarahan di otak.

Terapi guna menangani kekurangan faktor VIII dan IX terus berkembang. Dahulu bisa diatasi dengan transfusi. Faktor pembekuan darah didapat dari donor dengan risiko ikut masuknya berbagai penyakit seperti Hepatitis B dan C.

Pengobatan semakin maju dengan terapi pengganti faktor VIII dan IX dengan konsentrat faktor pembekuan darah dari plasma darah. Kini sudah ada terapi rekombinan diformulasikan dengan sukrosa dan bukan dengan albumin manusia sebagai penstabil untuk mengurangi risiko pasien terpapar virus.

Pemberian pengganti faktor VIII tersebut harus diulang setelah khasiatnya habis dan biayanya mahal. Untuk terapi pengganti faktor VIII/IX yang bersifat pencegahan (profilaksis), kata Djajadiman, biayanya mencapai Rp 100 juta per tahun bagi pengidap dengan berat badan 25 kg. Pengidap hemofilia yang harus menjalani pembedahan butuh banyak faktor pengganti sehingga biaya bisa mencapai Rp 1 miliar.

Akibat mahalnya pengobatan tersebut, hemofilia disebut sebagai penyakit katastropik. ”Sayangnya, asuransi swasta belum mencakup pelayanan hemofilia,” ujar Djajadiman.

Jika ditangani dengan baik, pengidap hemofilia dapat hidup sehat, berkualitas, dan produktif. Di negara maju, usia harapan hidup dan produktivitas orang dengan hemofilia sangat tinggi.

Hari Hemofilia Sedunia, misalnya, menandai tanggal kelahiran Frank Schnabel—pendiri World Federation of Hemophilia. Frank adalah seorang pengusaha di Kanada yang mengalami hemofilia dan hidup produktif hingga hari tuanya. Tampaknya, masih panjang harapan bagi mereka yang hidup dengan hemofilia....

Tidak ada komentar: