Selasa, 24 Maret 2009

Sang Buddha Pelopor Perdamaian

Akhir-akhir ini kita sering mendengar dan membaca istilah Teroris" dan Terorisme." Kedua istilah ini mencuat dan menjadi perhatian hampir semua elemen masyarakat, sejak tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan gedung WTC (World Trade Centre) dan Pentagon. Peristiwa tersebut tidak saja menimbulkan kerugian materi, tetapi juga menelan ribuan korban jiwa. Istilah teroris dan terorisme semakin melejit setelah Amerika Serikat menyatakan perang terhadap terorisme dan melakukan invasi besar-besaran bersama dengan sekutunya ke Afganistan. Sejak saat itu, berbagai media massa baik cetak maupun elektronik mengundang dan mewawancarai tokoh-tokoh penting, baik yang menangani secara langsung maupun tidak langsung terhadap teroris dan terorisme. Sebagai contohnya, pihak kepolisian, TNI, dan pimpinan redaksi mendapatkan posisi yang penting. Mereka berusaha membahas apa sebenarnya yang dimaksud dengan teroris dan terorisme, apakah mungkin di Indonesia juga ada teroris dan terorisme? Dan bagaimana pernyataan lainnya?

Baik kata "teroris" maupun "terorisme" berasal dari kata teror. Kata "teror" mempunyai arti usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata teroris didefinisikan sebagai orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Sedangkan kata terorisme didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik-praktik tindakan teror. Memang definisi "teroris" dan "terorisme" yang diberikan oleh KBBI, lebih ditekankan dan dikaitkan dengan politik, namun pada istilah teroris diberikan contoh gerombolan teroris telah mengganas dengan membakar rumah penduduk dan merampas hasil panen, dan pada istilah terorisme diberikan contoh terorisme seks terhadap perempuan terjadi pada pertengahan bulan Mei di Jakarta.

Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa arti kedua kata tersebut berhubungan dengan semua bentuk kejahatan dalam arti sempit, dan kedua kata tersebut berkaitan dengan politik dalam arti luas. Kedua kata tersebut berhubungan dengan semua bentuk kejahatan yang dapat menimbulkan ketakutan, kengerian, dan kekejaman pada individu maupun masyarakat luas. Dengan demikian, jika kedua istilah tersebut didefinisikan secara luas, di Indonesia juga ada teroris dan terorisme. Sebagai buktinya, perang antar etnis di Kalimantan Barat telah meninggalkan trauma yang berkepanjangan bagi kedua suku secara khusus dan masyarakat Kalimantan Barat pada umumya. Demikian juga perang antara gama di Maluku telah meninggalkan ketakutan dan kegelisahan. Tentunya masih ada contoh dan bukti yang lain jika kita mau menelusurinya.

Karena menjadi negara yang paling dirugikan oleh teroris, AS menyatakan perang terhadap terorisme. Usaha ini ternyata mendapat dukungan negara-negara lain seperti Inggris, Jepang, dan sebagainya. Amerika Serikat dan sekutunya pun melakukan invasi ke negara-negara yang dianggap merupakan sarang teroris seperti Afganistan, Filipina, dan lain-lain. Agresi militer semacam ini ternyata telah menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak _ Amerika dan Alqaeda _ bahkan rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa juga menjadi korban. Melihat kenyataan semacam ini bagaimanakah kita sebagai umat Buddha harus bersikap? Siapakah yang harus kita bela, Alqaeda yang dianggap sebagai gembong teroris atau Amerika Serikat dan sekutunya yang menyatakan perang terhadap terorisme?

Walaupun agama Buddha muncul dua ribu lima ratus tahun yang lampau, jauh sebelum tragedi 11 September 2001, bukan berarti agama Buddha buta dan tidak mengenal teror, teroris, dan terorisme. Kata "teror" yang mempunyai arti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman baik yang dilakukan oleh seseorang atau golongan dan disinomimkan dengan kata bhayati (membuat takut). Menurut agama Buddha ada tiga jenis teror yang dapat menimbulkan ketakutan bahkan membuat ibu dan anak berpisah. Tiga macam teror ini disebabkan oleh api atau kebakaran (maha-aggidaho), banjir besar (maha-megho), dan teror dari para perampok atau bandit (atavisankopo). Vasala Sutta dari Sutta Nipata menyebutkan "niggahaka", yang diterjemahkan sebagai perusak atau penjahat yang kejam. Amagandha Sutta juga dari Sutta Nipata menyebutkan sebagai "atipatin" (Sn. 248). Kata tersebut diterjemahkan oleh Dr. Rhys Davids dan Willian Stede sebagai orang yang menyerang atau merusak. Anguttara Nikaya menyebutkan "ekagarika" (AN.I,54). Kata tersebut diterjemahkan sebagai pencuri, penjahat, dan penyamun. Angulimala Sutta dari Majjhima Nikaya menyebutkan sebagai "cora," oleh Bhikkhu Bodhi, kata tersebut diterjemahkan sebagai "bandit".

Kalau sekedar istilah-istilah untuk para teroris, tentunya agama Buddha mengenalnya dan tidak miskin terhadap istilah-istilah tersebut. Memang kita hanya bisa mencarikan padanannya dalam arti yang luas dan agak sulit mencarikan padanannya dalam arti yang sempit di mana kata teroris dikaitkan dengan urusan politik. Memang dalam Cakkavatti Sihanada Sutta kita bisa menemukan istilah "theyyasavkhata." Adanya "theyyasavkhata" pada akhirnya telah memicu mencuatnya urusan politik dalam negeri. Tetapi kata tersebut diterjemahkan sebagai pencuri karena theyyasavkhata mempunyai pekerjaan mengambil barang yang tidak diberikan atau mencuri (adinna). Oleh karena itu, kita tidak bisa segera mengambil kesimpulan bahwa hal ini dapat dikategorikan dalam arti yang sempit, lagi pula pada awalnya mereka melakukan kejahatan bukan untuk tujuan politik tetapi sekedar ingin mencari kehidupan.

Entah karena tujuan politik atau karena dendam, orang menghancurkan gedung WTC dan Pentagon, tidak ada bukti yang jelas tentang hal ini. Karena serangan tersebut telah menimbulkan kerugian materi bagi AS, maka AS menyatakan diri perang terhadap terorisme dan melakukan invansi ke negara-negara yang dianggap sebagai sarang teroris. Tentunya kita sebagai umat Buddha, tidak dapat dan tidak akan membela orang yang telah menghancurkan gedung WTC dan Pentagon. Apapun alasan atau motifnya, siapapun pelakunya.

Dengan tidak membela orang yang telah menghancurkan kedua gedung tersebut, bukan berarti agama Buddha memberikan dukungan kepada Amerika Serikat dan sekutunya yang melakukan serangan kepada kelompok Alqaeda yang dianggap sebagai teroris dunia. Agama Buddha tidak memihak kepada pihak manapun karena kedua aksi tersebut telah menimbulkan korban jiwa. Tragedi 11 September 2001 telah menimbulkan kerugian materi dan juga menelan ribuan korban jiwa. Demikian pula serangan Amerika Serikat telah menimbulkan korban jiwa. Agama Buddha sangat menghargai kehidupan. Oleh karena itu, betapapun kecilnya kehidupan itu, harus dihormati dan dihargai. Bahkan tidak hanya manusia yang perlu mendapatkan hak hidup, tetapi semua makhluk. Menurut Metta Sutta dari Sutta Nipata ada lima jenis kehidupan yang perlu mendapat perhatian, kasih-sayang, dan hak hidup. Mereka adalah:

1. Yang dapat bergerak (tasa) dan yang tidak dapat bergerak (thavara).
2. Yang panjang (digha), besar (mahanta), sedang (majjhima), pendek (rassaka), kecil (anuka), dan gemuk (thula).
3. Yang dapat terlihat (dittha) dan yang tidak dapat terlihat (adittha).
4. Yang hidup jauh dari tempat tinggal kita (dura) dan yang hidup di sekitar kita (avidura).
5. Yang sudah dilahirkan (bhuta) maupun yang belum dilahirkan (sambhavesi).

Dengan dalil dan dasar ini, agama Buddha tidak akan memberikan pembelaan dan dukungan pada mereka yang melakukan kekerasan dan peperangan, betapapun kecilnya kekerasan dan peperangan tersebut. Untuk memberantas teroris yang telah dan akan menimbulkan kekacauan dunia bukan dengan jalan menghabiskan dan memusnahkan mereka yang dianggap sebagai teroris. Cakkavatti Sihanada Sutta mencatat bahwa pemberantasan terorisme dengan cara memusnahkan para teroris justru memicu para teroris mempersenjatai diri dengan berbagai alat yang canggih dan akhirnya kekerasan dan peperangan semakin merajalela. Oleh kerena itu, ketika Raja Ajatasattu melalui delegasinya memohon doa restu dan persetujuan dari Sang Buddha atas rencananya menyerang dan menghancurkan suku Vajji, secara tidak langsung Sang Buddha menolak usulan tersebut.

Menurut Sang Buddha negara yang selalu mentaati tujuh peraturan yaitu selalu menjaga kerukunan, mentaati undang-undang yang telah dibuat, menghormati dan menghargai orangtua mereka, mengakui persamaan gender dengan cara tidak menjadikan wanita sekedar sebagai ladang pemuasan nafsu, selalu menghormati dan menyokong tempat-tempat ibadah, dan selalu menghormati dan melindungi tokoh-tokoh agama, tidak akan mampu dikalahkan dan diruntuhkan. Dari sini kita bisa menganalisa bahwa Sang Buddha menghendaki adanya persatuan dan kedamaian, bukan kekerasan dan pertumpahan darah. Selama dunia ini masih menghalalkan kekerasan dan peperangan sebagai jalan untuk mencapai kedamaian, selama itu pula kedamaian tidak akan terwujud.

Terorisme yang ada di dunia ini akan tetap ada jika hanya para terorisnya saja yang diberantas. Untuk melenyapkan terorisme yang ada di dunia ini secara total, akar kejahatan atau akar terorisme yang melekat erat dalam diri setiap individu harus dimusnahkan terlebih dahulu. Setelah akar terorisme lenyap, terorisme yang ada di dunia ini akan lenyap dengan sendirinya. Sang Buddha menjabarkan bahwa ada tiga akar terorisme yang melekat kuat pada diri manusia yaitu kebencian (dosa), keserakahan (lobha, sering juga lobha disinonimkan dengan raga), dan kebodohan (moha).

Karena rasa benci orang bisa menghujat, mencaci, bahkan membunuh. Karena keserakahan orang selalu ingin menguasai yang lain dan ingin selalu ditempatkan pada posisi yang paling atas. Demikian juga, karena kebodohan orang terus-menerus memupuk dan mengembangkan keserakahan dan kebenciannya. Dalam Kalama Sutta dijelaskan orang yang masih mempunyai tiga akar terorisme ini, dapat menimbulkan kekacauan, ketakutan, dan kengerian dalam masyarakat misalnya dengan cara membunuh, merampok, memperkosa, dan menebar isu yang tidak benar. Oleh karena itu, tiga akar terorisme inilah yang harus diberantas bukan manusianya. Orang yang memberantas terorisme dengan jalan memberantas mereka yang disebut teroris, berarti orang tersebut juga masih mengembangkan dan memupuk tiga akar kejahatan ini di dalam dirinya. Satu-satunya jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha untuk memberantas tiga akar kejahatan ini adalah Jalan Mulia berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga), yaitu pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar (penghidupan benar), usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

Sang Buddha menempatkan pandangan benar pada posisi yang paling awal bukanlah tanpa alasan. Berdasarkan penjelasan yang ada dalam Mahacattarika Sutta, pandangan adalah awal dari apa yang dipikirkan, diucapkan, dilakukan, dan seterusnya; jika orang mempunyai pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, dan seterusnya akan benar.

Pelaksanaan Delapan unsur Jalan Mulia secara intensif, tidak saja dapat mentransformasi orang yang jahat menjadi baik, tetapi orang yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dapat merealisasikan nibbana dalam kehidupan ini. Salah satu bukti nyata yang tercatat dalam Nikaya adalah kisah tentang Angulimala. Angulimala adalah seorang bandit yang telah menewaskan ratusan orang bahkan ia bertekad ingin membunuh ibunya sendiri untuk diambil jari kanannya jika ibunya datang. Namun ketika bertemu dangan Sang Buddha dan mendengarkan syair ia menjadi sadar. Berikut ini adalah syairnya:

"Angulimala Aku telah berhenti untuk selamanya,
Aku tidak lagi menyakiti makhluk hidup apapun,
Tetapi engkau masih menyakitinya,
Itulah sebabnya mengapa Aku katakan,
Aku berhenti untuk selamanya dan engkau tidak."


Setelah mendengar syair ini, Angulimala sadar akan apa yang dilakukannya dan pada akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pengikut Sang Buddha. Setelah menjalankan Delapan unsur Jalan Mulia secara intensif, ia merealisasikan nibbana dan mencapai tingkat kesucian Arahat.

Orang yang mencapai nibbana bukan berarti orang tersebut telah mencapai kebenaran yang tertinggi (paramattha sacca), tetapi yang sebenarnya orang tersebut adalah orang yang telah merealisasi kedamaian dan kebahagiaan tertinggi. Hal ini dapat diargumentasikan dengan kenyataan bahwa Sang Buddha tidak pernah mengarahkan pandangan seseorang terhadap sesuatu determinisme yang absolut. Pencarian kebenaran sejati dan yang tertinggi hanya akan mengarahkan seseorang pada pandangan bahwa "hanya ini yang benar dan yang lainnya salah" (idameva saccam, mogham abbam). Pandangan semacam ini tidak diharapkan oleh Sang Buddha. Yang dicari oleh Sang Buddha adalah kedamaian dan kebahagiaan sejati (santagavesi). Oleh karena itu ketika pertama kali mendekralasikan pernyataan tentang dukkha, sebab dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha, Sang Buddha menyebutkan bahwa kebenaran mulia (ariyasacca), bukan sebagai kebenaran tertinggi (paramattha sacca). Disebut mulia karena orang yang memahami, melaksanakan, dan merealisasikan kenyataan tersebut akan menjadi orang yang mulia dan bahagia (ariya). Dengan dalil dan dasar ini, Sang Buddha menyebutkan nibbana sebagai kebahagiaan tertinggi (Paramam Sukham Dhp. 203), tempat yang damai (Satipada AN. II, 18), damai di dalam diri (Ajjhattasanti Sn. 873). Sering juga dianggap sebagai lenyapnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan.

Dengan bukti-bukti yang ada dalam sutta-sutta, tidaklah salah jika kita menempatkan Sang Buddha sebagai pelopor perdamaian dan menjadikan hari Asadha sebagai hari perdamaian di mana pertama kali dideklarasikan Empat Kebenaran Mulia, yang isinya _ dua di antaranya berkaitan dengan kedamaian dan jalan menuju kedamaian.

Tidak ada komentar: