BERBICARA MENGENAI KONSEP, SEKILAS dalam benak kita terbayang teori-teori yang kental kaitannya dengan sesuatu yang diteliti, dikaji, diperdebatkan, dan juga diyakini. Dalam konteks artikel ini, konsep yang dibahas adalah tentang tuhan. Secara umum pandangan yang ada menganggap seseorang yang beragama pasti atau harus mempunyai ?satu Tuhan yang diakui?. Konsep tuhan dari sudut pandang ini sangat jelas memersonifikasikan Tuhan, jadi tuhan dirupakan sebagai sosok atau makhluk seperti halnya manusia. Keyakinan akan konsep ini tentunya bukan sesuatu yang asing bagi kita, karena sejak kecil kita sudah mendapat modal yang kuat akan konsep tuhan sebagai makhluk adidaya yang mencipta alam semesta beserta seluruh isinya dari pendidikan di sekolah maupun lingkungan sekitar
kita.
Yang sulit adalah ketika kita mendapatkan kebenaran akan sesuatu konsep yang telah demikian lama mengakar dalam pikiran kita, bahwa konsep yang kita yakini selama ini ternyata keliru atau salah. Sulitnya karena kemelekatan kita pada konsep tersebut (bahwa tuhan dipandang sebagai sosok atau pribadi pengatur dan pencipta alam semesta dan isinya) telah begitu kuat. Jika kemelekatan (keyakinan) kita terhadap konsep itu begitu kuatnya maka kita akan selalu menjadi pendebat seluruh konsep yang ada walaupun konsep yang lain mungkin menawarkan sudut pandang yang sebenarnya.
Kontroversi
Sejauh ini masih banyak yang mempertanyakan, dalam Buddhis itu tuhannya yang mana, bagaimana pula karakteristiknya. Mengapa pula dalam sutta-sutta ataupun ceramah Dhamma konsep tentang tuhan ini sangat jarang disinggung. Bagaimana sesungguhnya konsep mengenai Tuhan dalam Agama Buddha? Mengapa perlu membahas tentang konsep ini? Menurut ahli-ahli di luar negeri, dikatakan bahwa agama Buddha dimasukkan sebagai agama yang Agnostik dan tidak mengenal tuhan pencipta. Selain itu, menurut para Atheis, dikatakan bahwa Buddhisme tidak bisa disebut sebagai agama karena tidak adanya tuhan dan segala macamnya, namun lebih cenderung ke filosofi. Sedangkan menurut historisnya, dikatakan bahwa di Indonesia, Walubi terpaksa menggunakan sebutan Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan dalam agama Buddha karena tekanan dari pemerintah.
Teori
Menjawab berbagai kontroversi tentang pemaknaan tuhan yang sesungguhnya dalam agama Buddha sudah sepatutnya menjadi tugas kita bersama sebagai penganut ajaran Buddha. Karena itu, dalam pembahasan berikut ini akan diuraikan dasar-dasar pandangan non-Buddhis terhadap konsep tuhan dalam Buddhisme, istilah-istilah yang digunakan untuk memperjelas mengenai teori ketuhanan dalam Buddhisme, dan bagaimana pandangan Sang Buddha mengenai konsep tuhan itu sendiri. Jawaban Sang Buddha kelak akan menguak tabir misteri tentang Atta dan doktrin penolaknya, Anatta (doktrin tiada inti diri).
Istilah agnostik, theis, dan atheis
Seorang agnostik adalah seorang yang percaya bahwa ada ?sesuatu? yang di luar pikiran manusia. Di sisi lain, seorang agnostik mungkin percaya mungkin pula tidak percaya pada ?tuhan?. Jadi seorang agnostik bisa sebagai seorang theis ataupun seorang atheis. Istilah ?gnostic? atau ?agnostic? dibuat oleh philsuf-pemikir Thomas Huxley pada tahun 1869. ?Gnostic? berasal dari akar kata ?gnosis?, artinya ?mengetahui? (to know). Dengan kata lain, seseorang agnostik mengakui ketidaktahuannya mengenai keberadaaan ?tuhan?. Menurut mereka, ?tuhan? mungkin saja ada, tetapi akal tidak dapat membuktikan keberadaan ataupun ketidakberadaannya.
Dalam teori Buddhis, memang tidak dikenal adanya konsep tuhan dengan definisi sebagai pencipta dan pengatur alam semesta beserta segala isinya dengan watak atau sifat-sifat seperti manusia yang bisa marah, senang, benci, sayang, dsb, sehingga agama Buddha sering disebut atheis. Tentunya jawaban ini sangat tidak memuaskan beberapa pihak dan orang-orang yang sudah terlanjur melekat pada pandangan tuhan sebagai pribadi atau makhluk yang agung, tinggi, dan super power, di mana menuntut setiap agama harus mempunyai konsep yang sama seperti itu. Sayangnya, cara pandang kita sebagai penganut ajaran Buddha terhadap konsep tuhan ini memang sangat berbeda dibanding agama-agama lainnya.
Tuhan dalam agama Buddha didefinisikan sebagai yang mutlak, maka jika meminta definisi tuhan sebagai yang mutlak ini, kita dapat merujuk pada uraian Sang Buddha tentang Nibbana yang ada pada Sutta Pitaka, Udana VIII:3. Dalam hal ini agama Buddha termasuk agama theistik. 'Yang Mutlak' sendiri adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan, 'Yang Mutlak' itu sendiri disebut dengan 'tuhan yang maha esa'.
?Tuhan? sebagai tujuan akhir
Agama Buddha boleh-boleh saja dikatakan atheis karena jika melihatnya hanya dari sudut pandang personal, agama Buddha memang tidak ber-?tuhan?. Karena jelas-jelas agama Buddha memegang teguh konsep anatta (doktrin tiada inti diri/aku/jiwa yang kekal) yang merupakan salah satu bagian penting dari 3 corak umum yang universal (tilakkhana). Jika melihat definisi Tuhan dari sudut pandang impersonal (bukan pribadi), maka dalam ajaran Buddha terdapat Nibbana yang bisa disamakan dengan konsep Tuhan karena Nibbana adalah tujuan yang tertinggi dan termulia yang ingin dicapai oleh seorang penganut ajaran Buddha.
Tujuan akhir dari kita belajar, memperdalam pemahaman tentang Dhamma Sang Buddha, dan mempraktekkannya pun sesungguhnya karena kita menginginkan kebebasan yang mutlak, menuju pada pencapaian pencerahan yang tertinggi, yaitu Nibbana. Sama halnya dengan pandangan umum agama lain yang ingin mencapai atau berada di sisi ?tuhannya? setelah meninggal (tujuan akhirnya). Inilah sebabnya kita bisa menggunakan konsep Nibbana untuk mendefinisikan Tuhan dalam agama Buddha karena peranannya sebagai tujuan akhir, sama dengan peranan tuhan dalam agama-agama lainnya.
Hakekat ketuhanan
Dengan mengetahui bahwa tuhan dalam agama Buddha sesungguhnya tujuan akhir yang perlu kita capai sebagai pemeluk ajaran Buddha, maka merupakan sesuatu yang mutlak bagi kita untuk mengenali bagaimana hakekat ketuhanan (sifat-sifat tuhan) itu sendiri. Adapun hakekat ketuhanan dalam agama Buddha adalah tidak berkondisi dan terbebas dari Lobha, Dosa, dan Moha. Karena tidak berkondisi dan terbebas dari Lobha, Dosa, dan Moha, maka sifat-sifat tuhan adalah maha esa, karena hanya satu-satunya, dan mahasuci, karena terbebas dari Lobha, Dosa, dan Moha.
Karena itu, tuhan bisa dikatakan bersifat impersonal (bukan pribadi), yaitu memahami yang mutlak/tuhan sebagai anthropomorphisme (tidak dalam ukuran bentuk manusia) dan anthropopatisme (tidak dalam ukuran perasaan manusia). Jika masih berpandangan bahwa tuhan bersifat tidak impersonal, maka berarti masih berkondisi, yang berarti masih ada dukkha. Dengan demikian, bisa timbul pandangan bahwa ?tuhan dapat disalahkan?, sehingga kita tidak dapat mendudukkan tuhan dalam proporsi yang sebenarnya dan mengaburkan kembali pandangan yang semula bahwa ?tuhan? adalah yang tertinggi, mahasuci, mahaesa, mahatahu, dsb.
Yang mutlak (tuhan) dalam agama Buddha tidaklah dipandang sebagai sesuatu pribadi puggala adhitthana), yang kepadanya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma.
Definisi dan asal muasal kata ?tuhan?
Dilihat dari agama dan kepercayaan yang ada, Tuhan/Dei/Deos/God/ Thien pada intinya memiliki pengertian penguasa, pengatur alam semesta yang berkepribadian yang dipercaya memiliki super power. Kepercayaan akan adanya tuhan dimulai dengan konsep politheis atau banyak tuhan dengan tugas-tugas tertentu seperti kepercayaan Mesir dan Yunani kuno.
Belakangan manusia mulai berpikir bahwa tuhan yang jumlahnya banyak tersebut tidaklah efektif lagi karena mengurangi kredibilitas sesuatu yang super power. Selain itu timbul pemikiran perlunya tuhan tertinggi untuk mengatur tuhan-tuhan yang lain yang merupakan cermin dari hirarki kerajaan. Akhirnya terbentuklah konsep monotheis, tuhan yang satu.
Etimologi (asal kata) ?tuhan? dalam bahasa Melayu juga memiliki sejarahnya sendiri. Kata ?tuhan? berasal dari kata ?tuan?, sama artinya dengan kata ?lord? dalam bahasa Inggris, sama artinya dengan kata ?gusti?, yaitu seseorang sebagai tempat mengabdikan diri.
Hal ini dapat kita buktikan dengan mengamati dalam bahasa Jawa, seperti ?gusti raja?, ?gusti putri? yang kemudian muncul istilah ?gusti allah?. Selain itu juga dari satu sumber disebutkan, bahwa sebelum perkataan 'Tuhan' diperkenalkan kepada rakyat Indonesia, rakyat Indonesia telah ber-tuhan, akan tetapi tidak disebut dengan perkataan 'tuhan'. Di Jawa dikenal perkataan 'pangeran'. Perkataan ?pangeran' itu mempunyai akar kata 'her', 'tempat diam untuk menghadap orang tua'; kata kerjanya 'angher', 'tinggal pada suatu tempat untuk mengabdi'; maka perkataan 'pangeran' berarti 'yang diikuti, yang diabdi'. Dalam hal ini tidak ada unsur memohon, meminta sesuatu, mengharapkan sesuatu dari 'Pangeran', akan tetapi karena mengabdi dan mengikuti, maka pasti akan diperoleh berkah atau buah (pahala). Tuhan atau pangeran dalam bahasa Jawa sering digambarkan sebagai : ?gesang tanpa roh; kuwaos tanpa piranti; tan wiwitan datan wekasan; tan kena kinaya ngapa; ora jaman ora makam; ora arah ora enggon; adoh tanpa wangenan; cedak tanpa gepokan (senggolan); ora njaba ora njero; lembut tan kena jinumput; gede tan kena kinira-kira",
yang artinya :
"Hidup tanpa roh; kuasa tanpa alat; tanpa awal tanpa akhir; tak dapat diapa-siapakan; tak kenal jaman maupun perhentian; tak berarah tak bertempat; jauh tak terbatas; dekat tak tersentuh; tak di luar tak di dalam; halus tak terpungut; besar tak terhingga".
Kedatangan bangsa Barat dengan membawa agama Nasrani dan usaha menerjemahkan Injil khususnya kata ?lord? (Jesus) ke dalam bahasa Melayu, memberikan perubahan kata ?tuan? menjadi ?tuhan?. Hal ini terjadi karena kata ?tuan? memiliki konotasi yang sifatnya duniawi, dan dengan diubahnya kata tersebut menjadi kata ?tuhan? akan memberikan konotasi yang sifatnya spiritual.
Bagaimana dengan Buddhisme? Pada dasarnya dalam Buddhisme tidak terdapat ajaran mengenai tuhan dalam pemahaman pengertian sebagai penguasa, pengatur alam semesta yang berkepribadian yang dipercaya memiliki super power.
Tidak ada satupun pengertian dari ?tuhan? di atas yang dapat kita jumpai dalam teks-teks awal Buddhisme, kecuali beberapa sifat tertentu. Beberapa waktu yang lalu di Sri Lanka, timbul suatu gerakan protes untuk menghilangkan istilah tuhan dalam kurikulum sekolah, di mana istilah tuhan ini merupakan produk agama Nasrani yang juga mewabah di Sri Lanka.
Penggunaan kata ?tuhan? dalam agama Buddha di Indonesia merupakan suatu bentuk kompromi politik, di mana Indonesia hanya mengakui agama yang bertuhan meskipun tidak dijelaskan definisi atau pengertiannya apakah harus seragam, dan agama Buddha di Indonesia perlu menyesuaikan diri. Kemudian muncul istilah Sanghyang Adi Buddha yang oleh sebagian orang dianggap sebagai tuhan yang bisa melihat, mendengar, memberkahi, sehingga digunakan dalam upacara pengambilan sumpah seorang umat Buddha dalam sistem kenegaraan.
Sebenarnya jika kita melihat dan memerhatikan sila pertama Pancasila Dasar Negara Indonesia yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kita tidak bisa mengatakan dan mengartikannya bahwa Indonesia mengakui adanya satu tuhan, tetapi mengakui sifat-sifat tuhan yang mutlak. Kata ?ketuhanan? merupakan kata yang memiliki awalan ?ke-? dan akhiran ??an?, ketika suatu kata dasar diberi imbuhan awalan ?ke-? dan akhiran ??an? maka kata tersebut memiliki perubahan arti.
Dalam hal ini kata ?tuhan? yang merupakan kata benda ketika ditambah dengan awalan ?ke-? dan akhiran ??an? akan berubah menjadi kata sifat. Dengan kata lain, kata ?ketuhanan? berarti sifat?sifat atau hal-hal yang berhubungan dengan tuhan, bukan tuhan itu sendiri.
Kata ?maha? berasal dari bahasa Sanskerta/ Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk). Kata ?maha? bukan berarti ?sangat?. Jadi adalah salah jika penggunaan kata ?maha? dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar yang berarti sangat besar.
Kata ?esa? juga berasal dari bahasa Sansekerta/Pali. Kata ?esa? bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata ?esa? berasal dari kata ?etad? yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata ?ini? (this ? Inggris). Sedangkan kata ?satu? dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Pali adalah kata ?eka?. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah ?eka?, bukan kata ?esa?.
Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah berarti tuhan yang hanya satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya, Ketuhanan Yang Maha Esa berarti sifat-sifat luhur/mulia tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur/mulia, bukan tuhannya.
Dan apakah sifat-sifat luhur/mulia (sifat-sifat tuhan) itu? Sifat-sifat luhur/mulia itu antara
lain: cinta kasih, kasih sayang, jujur, rela berkorban, rendah hati, memaafkan, dan sebagainya. Dan ajaran agama Buddha mengandung semua hal itu. Dengan dasar acuan mengenai sifat-sifat Tuhan dalam agama Buddha, di mana peranannya sebagai tujuan akhir yang mutlak dicapai oleh semua makhluk, dan juga dari definisi serta asal kata ?Tuhan? itu sendiri secara historis dan harfiah seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya konsep tuhan dalam agama Buddha sama sekali tidak bertentangan sila pertama dasar negara Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, maupun UUD '45 pasal 29 ayat 1 dan 2.
Lebih jauh, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha kita dapatkan dari sabda-sabda Sang Buddha, seperti yang dituliskan dalam Kitab Udana : "Atthi bhikkhave ajatam abhutam akatam asankhatam,no ce tam bhikkhave abhavisam ajatam abhutam akatam asankhatam, nayidha jatassa bhutassa katassa sankhatassa nissaranam pannayatha. Yasma ca kho bhikkhave atthi ajatam abhutam akatam asankhatam, tasma jatassa bhutassa katassa sankhatassa nissaranam pannaya'ti?
yang artinya:
"Para bhikkhu, ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tak ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu". (Udana,VIII: 3)
Untuk memahami ?yang mutlak? ini, seseorang harus mengembangkan pengertiannya, dari pengertian duniawi (lokiya) sampai memperoleh pengertian yang mengatasi duniawi (lokuttara), yang hanya dapat dicapai oleh insan yang sadar, yang telah membebaskan diri dari cengkeraman kamma dan kelahiran kembali. Pengertian ini tidak dapat dimiliki oleh manusia yang batinnya masih dicengkeram oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha).
Dengan demikian, jelaslah bahwa agama Buddha benar-benar mengajarkan keyakinan terhadap tuhan yang maha esa, yang mutlak. Hal ini penting sebagai penegasan kepada mereka yang mengira bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan keyakinan terhadap tuhan yang maha esa dan dengan sendirinya agama Buddha dianggap tidak berlandaskan pada
ketuhanan yang maha esa.
Sampai di sini, pembahasan kembali pada sifat-sifat tuhan dalam agama Buddha, yaitu tidak berkondisi dan terbebas dari lobha, dosa, dan moha. Dan dalam Buddhis, hal ini dikenal dengan Nibbana. Untuk mengetahui apakah sesuatu yang tidak berkondisi ini benar-benar ada, maka dapat digunakan acuan berdasarkan Kitab Suci Tipitaka, logika (Anumana: melihat yang tidak terlihat dari yang terlihat), dan mengalami langsung (merealisasi). Bagaimana menuju perealisasian Nibbana adalah tergantung pada usaha kita, dan untuk itu kita perlu memahami satu doktrin penting yang diajarkan Guru Agung kita, yaitu ajaran tentang anatta.
YO DHAMMAM DESESI ADIKALYANAM MAJJHEKALYANAM PARIYOSANAKALYANAM TI
Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar