Ajaran Katolik mengenai moralitas seksual berasal dari hukum alam, Kitab Suci dan tradisi suci Gereja, serta disusun secara resmi oleh Magisterium Gereja. Moralitas seksual menganalisa kebaikan perilaku seksual, dan seringkali menyumbangkan prinsip-prinsip umum yang bisa digunakan seseorang untuk menganalisa moralitas suatu tindakan.
Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa kehidupan manusia dan seksualitas manusia adalah tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya dan adalah suatu yang suci.[1] Oleh karena umat Katolik percaya bahwa Tuhan menciptakan umat manusia berdasarkan citra dan kemiripan-Nya, serta bahwa Tuhan menjadikan semua yang diciptakannya sebagai hal-hal yang "sangat baik" (Kitab Kejadian 1:31), Gereja mengajarkan bahwa tubuh manusia dan seks haruslah baik oleh karenanya. Katekisme Katolik mengajarkan bahwa "tubuh manusia merupakan sendi dari penyelamatan".[2] Gereja menganggap bahwa perwujudan cinta antara suami dan istri sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang lebih tinggi nilainya, menyatukan suami dan istri di dalam bentuk saling menyerahkan diri yang sepenuhnya, dan membuka hubungan mereka pada kehidupan yang baru. "Aktivitas seksual dimana suami dan istri bersatu secara intim dan murni antara yang satu dengan yang lainnya, yang daripadanya kehidupan manusia disalurkan, adalah, sebagaimana yang diingatkan oleh Konsili terkahir, 'mulia dan berharga'".[3] Adalah di dalam kasus-kasus dimana perwujudan seksual dicari di luar ikatan pernikahan yang suci, atau dimana fungsi-fungsi membentuk keturunan (prokreasi) dari perwujudan seksual di dalam pernikahan ditanggalkan secara sengaja, Gereja menyatakan keprihatinan moral yang sangat mendalam.
Gereja jelas mengajarkan bahwa hubungan seksual di luar ikatan pernikahan adalah bertentangan dengan tujuan hubungan seksual itu sendiri. "Aktivitas hubungan suami-istri" bertujuan untuk mencapai kesatuan pribadi yang sangat mendalam; sebuah persatuan yang lebih daripada hanya sebuah persetubuhan, yang menjurus pada pembentukan kesatuan hati dan jiwa[4] semenjak ikatan pernikahan merupakan sebuah tanda cinta antara Tuhan dan manusia.[5]
Diantara dosa-dosa yang sangat bertentangan dengan kemurnian seksual adalah masturbasi, hubungan seks bebas, pornografi, preaktek-praktek hubungan homoseksual[6] dan alat-alat kontrasepsi.[7] Disamping dianggap sebagai sebuah dosa besar, penyediaan sarana atau bantuan dalam tindakan aborsi bisa mengakibatkan dijatuhinya hukuman ekskomunikasi.[8]
Sumber-sumber moralitas seksual Katolik
Hukum alam
Hukum alam (Bahasa Latin: lex naturalis) adalah sebuah teori etika yang menempatkan keberadaan sebuah hukum dimana isinya dibentuk oleh alam dan oleh karenanya memiliki keabsahan dimanapun ia berada.[9] Disamping adanya tuduhan-tuduhan miring bahwa ada keterlibatan paham penyembahan berhala dalam teori hukum alam, sejumlah (dan bukan semua) Bapa Gereja awal mencoba memasukkannya ke dalam agama Kristen (devosi kaum Stoic, yaitu pengikut salah satu paham filosofi Helenistik, pada penyembahan berhala jelas membantu pengadopsian ini).
Dalam sebuah tulisan yang sangat berpengaruh dari Summa Theologia, Santo Thomas Aquinas menulis:
makhluk hidup yang memiliki rasionalitas tunduk pada Tuhan Allah dengan sebaik-baiknya, sampai-sampai ia turut mengambil bagian dalam karya Allah tersebut, baik berkarya ilahi untuk diri sendiri maupun untuk sesama. Karena, keikut-sertaan ini memiliki bagian di dalam Logika Abadi, yaitu sebuah dasar pemikuran yang memiliki kecenderungan alami pada tindakan dan tujuan yang wajar: dan partisipasi hukum abadi ini di dalam makhluk hidup yang rasional disebut sebagai hukum alam.[10]
Hukum alam adalah sebuah sumber dasar bagi ajaran-ajaran Katolik mengenai moralitas seksual.
Kitab Suci
Cerita-cerita penciptaan di Kitab Kejadian 1-3 memberikan masukan dalam segi artropologi yang menerangkan umat Katolik mengenai moralitas seksual. Ayat-ayat berikut ini seringkali disebutkan di dalam pelajaran-pelajaran moralitas seksual Katolik:
"Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: 'Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu ...' " (Kejadian 1:27-28)
"Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu." (Kejadian s:21-25)
"Firman-Nya kepada perempuan itu: 'Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu." (Kejadian 3:16)
Dua dari Sepuluh Perintah Allah secara langsung merujuk pada moralitas seksual, yaitu melarang perzinahan dan mengidamkan istri tetangga. (Baca Kitab Keluaran 20:14, 17; Kitab Ulangan 5:18, 21).
Yesus berkomentar mengenai kedua perintah ini di dalam Injil Matius 5:27-28: "Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya."
Yesus membuat rujukan pada kalimat-kalimat dari Kitab Kejadian dalam khotbah-khotbahnya mengenai pernikahan di dalam Kitab Matius 19:4-6: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Bapa-bapa Gereja
Santo Augustinus Hippo menulis dengan penuh perasaan perubahan imannya menjadi seorang Kristiani dalam bukunya Confessiones, termasuk di dalamnya adalah unsur-unsur oerubahan yang berhubungan dengan perilaku seksual. Kalimat berikuta yang berasal dari otobiografinya tersebut menggambarkan sebuah titik balik penting dalam pembentukan moralitas seksual Katolik menurut pemikirannya:
Jadi cepat-cepat aku kembali ke tempat dimana Alypius dengan duduk; karena disana aku telah meletakkan karya-karya para rasul, ketika dari situlah aku bangkit. Aku ambil, buka, dan di dalam kesunyian membaca paragraf tersebut yang mataku pertama melihatnya: "Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." (Kitab Roma 13:13-14). Aku tidak membaca lebih jauh lagi, ataupun aku membutuhkan apa-apa lagi.. .[11]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar