Dalam agama Katolik Roma, aktivitas homoseksual adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam dan penuh dosa, sementara keinginan dan nafsu homoseksual adalah suatu kelainan (namun hal ini sendiri belum sepenuhnya dosa). Gereja Katolik Roma menganggap perilaku seksual manusia sebagai sesuatu yang suci, hampir penuh keilahian di dalam intisarinya, ketika dilakukan secara benar. Kegiatan-kegiatan hubungan seksual anal dan homogenital dianggap penuh dosa karena perilaku seksual pada dasarnya ditujukan untuk suatu kesatuan dan penerusan keturunan (meniru kehidupan Trinitas pribadi Tuhan). Gereja juga memahami kebutuhan saling melengkapi antara jenis kelamin yang berbeda untuk menjadi bagian dalam rencana Allah. Tindakan-tindakan seksual sama-jenis tidak sejalan dengan pola rancangan ini:
"Tindak-tanduk homoseksual bertentangan dengan hukum alam. Tindakan-tindakan ini menutup unsur pemberian kehidupan dalam perilaku seksual. Mereka tidak berasal dari sebuah tindakan saling mengisi secara seksual dan secara penuh kesih sayang yang tulus. Di dalam situasi apapun tindakan-tindakan ini bisa disahkan." [1].
Ajaran-ajaran ini tentu saja tidak terbatas pada pembahasan masalah homoseksualitas, namun juga membeentuk dasar filosofi bagi pelarangan Katolik terhadap, contohnya, seks bebas, semua bentuk perilaku seks yang tidak alami, kontrasepsi, pornografi, hubungan seksual anal dan masturbasi.
Sebagian kecil imam Gereja Katolik Roma, termasuk beberapa pejabat gereja seperti Uskup Jacques Gaillot dari Perancis, telah mengritik sikap Gereja ini. Ketidak-puasan atas sikap Gereja ini disalurkan ke dalam sikap penentangan langsung pada ajaran Katolik yang tak berubah mengenai seksualitas manusia.
Pada tanggal 15 Mei 2008, para uskup Katolik Roma di California mengeluarkan sebuah pernyataan menjelaskan penentangan mereka terhadap Mahkamah Agung Negara Bagian California di hari yang sama pada saat pengadilan tersebut memperbolehkan secara resmi pernikahan antar sesama jenis.[2]
Penerimaan dan belas kasih
Pihak Gereja telah menyatakan bahwa keinginan ataupun ketertarikan homoseksual itu sendiri belum tentu membentuk sebuah dosa. Mereka dikategorikan sebagai sesuatu yang "menyimpang" dalam artian bahwa mereka mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang berdosa (yakni tindakan homoseksual). Namun, pengaruh-pengaruh yang di luar kendali seseorang tidak dianggap sebagai sesuatu yang berdosa baik dalam pengaruh itu sendiri maupun akibat dari pengaruh tersebut. Atas dasar alasan ini, walaupun Gereja menentang secara tegas usaha-usaha untuk mensahkan perilaku seksual sesama jenis kelamin, pihak Gereja juga secara resmi menekankan sikap hormat dan cinta kasih kepada mereka yang memiliki ketertarikan kepada sesama jenis. Oleh karena itu, Gereja Katolik Roma juga menentang penganiayaan dan kekerasan terhadap kaum lesbian, gay, biseksual dan transeksual:
"Jumlah pria dan wanita yang memiliki kecenderungan homoseksual yang tersimpan di bagian dirinya yang terdalam bukanlah sesuatu yang sepele. Kecenderungan ini, yang secara jujur merupakan suatu penyimpangan, merupakan suatu cobaan berat bagi kebanyakan dari mereka. Mereka harus diterima dengan rasa hormat, kasih, dan dengan kepekaan perasaan. Setiap tanda diskriminasi yang tidak adil dalam hubungannya dengan mereka harus dihindari. Mereka dipanggil untuk memenuhi keinginan Tuhan dalam hidup mereka dan, apabila mereka adalah umat Kristiani, untuk bersatu di dalam pengorbanan Salib Kristus dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka mungkin hadapi karena kondisi mereka ini".[3]
Bagi mereka yang mengalami ketertarikan kepada sesama jenis, Gereja Katolik Roma menawarkan anjuran berikut:
"Kaum homoseksual dipanggil untuk hidup murni menahan nafsu. Dengan kemampuan untuk mampu mengendalikan diri sendiri yang mengajarkan mereka kebebasan dalam diri mereka sendiri, dengan terkadang didukung oleh persahabatan yang tanpa pamrih, oleh doa dan karunia ilahi, mereka bisa dan seharusnya secara bertahap dan pasti mendekati menjadi sebagai seorang Kristiani yang sempurna"[4].
Harus dicatat bahwa Gereja menganggap panggilan untuk hidup murni menahan nafsu sebagai suatu panggilan bagi semua umat sesuai dengan tahapan dalam hidup mereka.
Dukungan sosial dan psikologi
Terence Cardinal Cooke sebagai Uskup Agung New York City melihat adanya kebutuhan akan pelayanan yang membantu para umat Katolik yang tertarik pada sesama jenis untuk mematuhi arahan-arahan Vatikan dalam hal perilaku seksual. Cooke mengundang John Harvey ke New York untuk memulai karya Courage International bersama Benedict Groeschel, seorang biarawan Fransiskan Pembaruan. Pertemuan pertama diadakan pada bukan September 1980 di Makam Suci Bunda Seton di South Ferry.
Pada tahun 1997, USCCB (Konferensi Uskup Katolik Amerika Serikat) mengeluarkan semacam brosur berjudul selalu menjadi anak-anak kita yang beberapa pihak menganggapnya cukup berguna. Brosur ini menjelaskan posisi gereja terkini mengenai homoseksualitas, terutama yang berhubungan dengan para orang tua dari anak-anak yang homoseksual.
Namun, beberapa kaum homoseksual yang tetap melakukan hubungan seks sesama jenis mungkin tidak akan menerima komuni suci karena dianggap memasyarakatkan dan melakukan hubungan seks sesama jenis, walaupun hal ini tidak selalu terjadi tergantung bagaimana pandangan uskup lokal dan imam yang memimpin misa suci.
Asosiasi Medis Katolik telah menyatakan bahwa ketertarikan kepada sesama jenis adalah sesuatu yang bisa dicegah dan merupakan sebuah gejala dari masalah-masalah lainnya. Tujuan dari sebuah terapi harusnya adalah "bebas untuk hidup dengan murni menurut tingkatan hidup seseorang".[5]
Perdebatan Gereja
Seperti yang telah terjadi di dalam kebanyakan denominasi Kristen, ajaran resmi Gereja mengenai homoseksualitas telah ditentang oleh umat awam Katolik, para teolog penting dan imam terkemuka. Seringkali siapa saja yang mempromosikan suatu bentuk penentangan atau ketidaksetujuan terhadap pendirian Gereja yang telah terbentuk disingkirkan dari posisi pentingnya jika seseorang itu telah ditahbiskan, dan bahkan, dalam beberapa situasi, diekskomunikasikan. Secara umum terdapat cukup banyak perdebatan di dalam Gereja Katolik Roma mengenai relevansi posisi Gereja saat ini tentang homoseksualitas: beberapa pihak berusaha untuk merubahnya, beberapa pihak yang lain berusaha untuk mempertahankannya.
Walaupun demikian, Kuria Romawi bersikukuh untuk tidak berkeinginan memikirkan kemungkinan perubahan terhadap ajaran Gereja saat ini, dan menganggap bahwa pandangan-pandangan lainnya merupakan sebuah penolakan terhadap pengertian gerejawi yang dapat diterima. Sebaliknya, dalam sebuah surat resmi berjudul Rescriptum ex audientia bertanggal 19 Mei 2008 yang dibuat oleh Kardinal Tarcisio Bertone, Kardinal Menteri Luar Negeri, menegaskan ulang sekali lagi bahwa norma-norma yang telah diletakkan oleh dokumen Kongregasi Pendidikan Katolik di tahun 2005 adalah bernilai universal dan tanpa pengecualian.[6]
Penolakan terhadap posisi resmi gereja
Beberapa tokoh telah menentang posisi Gereja ini atau telah memasyarakatkan pengertian yang berbeda mengenai keselarasan iman Katolik Roma dengan gaya hidup atau identitas homoseksual. Tokoh-tokoh teolog yang telah secara tajam mengkritisi pernyataan gereja mengenai homoseksualitas antara lain Profesor Charles Curran, seorang mantan imam Katolik Roma, yang sebagai akibatnya dicabut jabatan pengajarnya di Universitas Katolik Amerika. Curran beranggapan bahwa adalah sesuatu hal yang tidak tepat untuk menganalisa moralitas suatu tindakan dari sebuah cara pandang fisik. Ia menulis:
Saya telah menerima pengesahan moral atas persatuan antara dua laki-laki gay atau dua perempuan lesbian ... Saya menolak pengertian gerejawi atas sesuatu yang salah secara obyektif namun tidak berdosa secara subyektif.[7]
Curran juga berkomentar bahwa Kongregasi bagi Doktrin Iman secara sistematis mencoba untuk membungkam para penulis yang juga kritis terhadap ajaran-ajaran gereja tentang homoseksualitas, merujuk kesalahan-kesalahan yang menonjol dalam buku Gereja dan Kaum Homoseksual karya Dr. John J. Mc.Neill.
Imam Katolik Roma Dr. James Alison berargumen bahwa pengertian yang diajukan oleh Kardinal Joseph Ratzinger dalam tulisannya Mengenai Pelayanan Pastoral kepada Kaum Homoseksual adalah "tidak selaras dengan Injil" dan menyimpulkan bahwa "ajaran tersebut nyatanya tidak bisa menjadi ajaran Gereja". Menjabarkan pandangannya, Alison mengemukakan bahwa:
Ajaran ini menempatkan dirinya antara penghormatan kepada Kristus dan kesadaran manusiawi diri kita sendiri, dimana menjurus pada penodaan terhadap penghormatan mendasar kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mencintai kita apa adanya, dan, sebagai yang dicintai, kita akan menemukan diri kita sendiri menjadi seseorang yang berbeda. Melainkan ajaran ini mengajarkan kita bahwa Tuhan hanya akan mencintai kita apabila kita memulainya dari suatu tempat lain.[8]
Lebih jauh lagi, di dalam tulisan A Question of Truth, seorang imam Dominikan bernama Gareth Moore mengkritik Gereja atas obsesinya terhadap hal-hal seksual dan 'arti' moralitas sebenarnya dari hal-hal tersebut. Ia berargumen bahwa semua hal seksual tersebut sebenarnya bermakna apa saja yang kita inginkan. Moore menyimpulkan bahwa: "... tidak ada argumen yang bagus, baik dari Kitab Suci maupun dari hukum alam, yang menentang apa yang telah dikenal sebagai hubungan homoseksual. Argumen-argumen yang diajukan untuk menunjukkan bahwa hubungan semacam itu adalah tidak bermoral semuanya merupakan argumen yang jelek".[9]
Terdapat juga beberapa cendekiawan yang telah menerbitkan tulisan yang menentang sikap bagaimana homoseksualitas diperlakukan oleh agama Katolik Roma. Salah satu yang mungkin paling terkemuka adalah Profesor John Boswell yang melalui bukunya Christianity, Social; Tolerance and Homosexuality melancarkan argumen filosofis dan penelitian sejarah dalam usahanya untuk membuktikan bahwa ajaran gereja mengenai homoseksualitas saat ini adalah salah.[10] Dalam lanjutan bukunya, Same Sex Unions in Pre-Modern Europe, Boswell bahkan berargumen bahwa Yesus sendiri menghadiri sebuah perayaan pernikahan pasangan sesama jenis.[11]
Seperti halnya ketidaksetujuan secara ilmiah di dalam Gereja, terdapat juga perselisihan dalam pelaksanaan dan pelayanan atas dasar ajaran Gereja tersebut di tengah-tengah para rohaniwan dan di dalam hierarki Gereja. Salah satu contoh utama dari para umat Katolik yang telah ditahbiskan oleh Gereja dan yang mengundang kontroversi karena kegiatan dan pelayanannya kepada kaum homoseksual adalah Romo Robert Nugent dan Dr. Jeannine Grammick yang mendirikan New Ways Ministry. Mereka berdua diperingatkan dengan keras oleh Kongregasi Doktrin Iman karena terlihat mereka cenderung untuk menjauhkan diri dari ajaran Gereja yang resmi, dan bahkan membimbing para individu yang homoseksual ke arah yang salah. Uskup-uskup Amerika seperti Dr. Thomas Gumbleton dari Keuskupan Agung Detroit dan Matthew Clarke dari Keuskupan Rochester juga dicela atas keterlibatan mereka dengan New Ways Ministry dan atas usaha pemasyarakatan mereka akan konsep teologi Primacy of Conscience (Keunggulan Akal Budi) sevagai sebuah jalan alternatif dari ajaran resmi Gereja.[12] Lebih jauh lagi, kesediaan Uskup Jacques Gaillot, seorang uskup Perancis yang diturunkan secara paksa dari posisi dan kewajibannya di dalam keuskupannya, untuk menyebarkan pesan mengenai homoseksualitas yang bertentangan dengan posisi resmi Gereja dianggap secara luas sebagai salah satu faktor yang menyebabkan dirinya diturunkan dari jabatannya.[13]
Dr. Robert Zollitsch, Uskup Agung Freiburg im Breisgau dan ketua Konferensi Uskup Jerman mengatakan dalam sebuah artikel dari majalah Jerman Der Spiegel bahwa ia menerima persatuan sipil yang diresmikan oleh negara namun ia menentang pernikahan sesama jenis.[14] Seperti halnya dengan hal ini, Dr. Diarmuid Martin, Uskup Agung Dublin, telah memasyarakatkan pandangan-pandangan yang mirip menyusul seruan-seruan untuk memperkenalkan persatuan sipil di negara Republik Irlandia.[15]
Pembelaan terhadap posisi resmi
Adalah mungkin bahwa sebagian besar pejabat Gereja dan kaum awam Katolik membela dan memasyarakatkan pengertian resmi homoseksualitas Gereja dan mengkritik mereka yang bersedia untuk memikirkan perubahan akan hal ini. Mereka percaya bahwa perubahan-perubahan akan hal ini adalah bertentangan dengan rencana Tuhan seperti yang terbukti di dalam cerita penciptaan Adam dan Hawa, yaitu sebuah pengertian yang diabadikan di dalam Hukum Alam; juga kemungkinan pembelaan ini didukung oleh berbagai penampakan suci yang memberikan peringatan untuk tidak memperbolehkan kompromi pada beberapa pendirian tertentu, dan hal ini bisa diterjemahkan sebagai salah satu dari pendirian tersebut.
Mayoritas luas para uskup belum mengutarakan ketidaksetujuan apapun dengan ajaran Gereja mengenai homoseksualitas, dan beberapa diantaranya telah memililki reputasi sebagai pihak yang membela mati-matian ajaran Gereja tersebut. Dua tokoh utamanya adalah Dr. George Cardinal Pell dan Dr. Francis Cardinal Arinze yang telah menekankan bahwa keluarga adalah sebuah unit yang sedang "ditertawai oleh homoseksualitas" dan "disabotase oleh persekutuan-persekutuan yang tidak lumrah".[16]
Lebih jauh lagi, setelah menduduki jabatan kepausan, salah satu keputusan yang lebih kotroversial dari Paus Benediktus XVI adalah keputusan KOngregasi Pendidikan Katolik yang melarang lebih jauh siapa saja yang memiliki kecenderungan-kecenderungan homoseksual yang mendalam saat ini atau mendukung apa yang disebut "kebudayaan gay", atau setiap individu yang memiliki "kecenderungan-kecenderungan" tersebut di masa tiga tahun terakhir, untuk masuk ke dalam seminari, dan, konsekwensinya, untuk bisa menjadi imam.[17] Hal ini merupakan sebuah perubahan dari posisi tradisional Gereja yang menyatakan bahwa hanya perilaku homoseksual-lah yang berdosa, dan merupakan bukti dari fakta bahwa perubahan posisi resmi Gereja akan homoseksualitas semakin tidak akan terjadi saat ini. Namun, beberapa uskup terus mentahbiskan imam-imam gay walau mereka mengetahuinya meskipun adanya pernyataan Vatikan yang melarangnya. Juga, beberapa ordo religius terkadang berbeda dalam tingkatan toleransinya terhadap masalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar