Dengan cara berjalan orang tak akan pernah mencapai akhir dunia, Namun tidak ada kebebasan dari penderitaan kalau belum mencapai akhir dunia. Mereka orang bijaksana yang mengetahui dunia Orang yang menjalani kehidupan suci, akan mencapai akhir dunia, Dengan mengetahui akhir dunia, dia tidak akan lagi merindukan dunia ini, Tidak juga merindukan dunia lain. (Anguttara Nikaya IV.45)
Mengapa Kita Dilahirkan?
Pernahkah kita bertanya, "Kenapa kita dilahirkan?" Pertanyaan semacam ini mungkin pernah muncul dalam diri kita. Di masyarakat kita muncul berbagai ragam pandangan tentang kelahiran manusia. Tentunya perbedaan pandangan ini tidak lepas dari perbedaan pandangan yang berhubungan dengan adat, kebiasaan, tradisi, budaya dan agama yang berkembang di masyarakat di mana kita hidup.
Ada yang berpandangan bahwa kelahiran juga akan mempengaruhi perbedaan ras seperti apa yang terjadi pada jaman Veda. Brahma lahir dari mulut Brahma, Ksatriya lahir dari pundak Brahma, Vaisya lahir dari paha Brahma dan Sudra lahir dari kaki Brahma. Pandangan ini menunjukkan bahwa kelahiran sudah ditentukan dan mereka yang dilahirkan akan menjalani peran sesuai dengan cara kelahirannya.
Muncul juga pandangan bahwa kelahiran ini karena diciptakan oleh makhluk tertentu dan manusia ini menjalani perannya untuk menjaga kehidupan. Setelah dilahirkan manusia dapat menikmati kehidupan ini sesuai dengan posisinya masing-masing. Pandangan ini juga menyatakan bahwa manusia harus taat dan patuh dengan yang menciptakannya sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan selalu bersamanya.
Pandangan yang lain mengatakan bahwa kelahiran ini adalah proses dari kehidupan. Selama manusia belum dapat memotong penyebab dari kelahiran maka kelahiran ini akan terus berulang dan terus berulang. Akar kejahatanlah penyebab proses kelahiran yang berulang-ulang ini. Selama akar kejahatan belum putus proses kelahiran akan terus terjadi.
Tentunya akan muncul pertanyaan dalam diri kita, "Pandangan mana yang paling benar di antara pandangan-pandangan yang ada dalam kehidupan ini?" Jawabannya kembali kepada individu karena masing-masing orang memiliki pandangan religius yang berbeda. Pandangan religius yang berbeda menyebabkan perbedaan persepsi tentang kelahiran manusia.
Kalau kita kembali kepada Dhamma maka pandangan kita akan mengarah kepada proses dari kehidupan ini. Paticcasamuppada atau hukum sebab akibat yang saling bergantungan dapat dijadikan referensi tentang proses kelahiran ini. Dijelaskan bahwa Avijja atau kegelapan batin yang masih ada akan menjadi penyebab proses selanjutnya. Demikian hal ini akan terus berlanjut selama akar dari proses itu masih ada. Untuk lebih jelasnya kita kembali kepada rumusan Paticcasamuppada seperti berikut:
- Dengan adanya kebodohan muncullah bentuk-bentuk pikiran
- Dengan adanya bentuk-bentuk pikiran muncullah kesadaran
- Dengan adanya kesadaran muncullah batin dan jasmani
- Dengan adanya batin dan jasmani muncullah enam indera
- Dengan adanya enam indera muncullah kesan-kesan.
- Dengan adanya kesan-kesan muncullah perasaan
- Dengan adanya perasaaMENCARI AKHIR DUNIA
Dengan cara berjalan orang tak akan pernah mencapai akhir dunia, Namun tidak ada kebebasan dari penderitaan kalau belum mencapai akhir dunia. Mereka orang bijaksana yang mengetahui dunia Orang yang menjalani kehidupan suci, akan mencapai akhir dunia, Dengan mengetahui akhir dunia, dia tidak akan lagi merindukan dunia ini, Tidak juga merindukan dunia lain. (Anguttara Nikaya IV.45)
Mengapa Kita Dilahirkan?
Pernahkah kita bertanya, "Kenapa kita dilahirkan?" Pertanyaan semacam ini mungkin pernah muncul dalam diri kita. Di masyarakat kita muncul berbagai ragam pandangan tentang kelahiran manusia. Tentunya perbedaan pandangan ini tidak lepas dari perbedaan pandangan yang berhubungan dengan adat, kebiasaan, tradisi, budaya dan agama yang berkembang di masyarakat di mana kita hidup.
Ada yang berpandangan bahwa kelahiran juga akan mempengaruhi perbedaan ras seperti apa yang terjadi pada jaman Veda. Brahma lahir dari mulut Brahma, Ksatriya lahir dari pundak Brahma, Vaisya lahir dari paha Brahma dan Sudra lahir dari kaki Brahma. Pandangan ini menunjukkan bahwa kelahiran sudah ditentukan dan mereka yang dilahirkan akan menjalani peran sesuai dengan cara kelahirannya.
Muncul juga pandangan bahwa kelahiran ini karena diciptakan oleh makhluk tertentu dan manusia ini menjalani perannya untuk menjaga kehidupan. Setelah dilahirkan manusia dapat menikmati kehidupan ini sesuai dengan posisinya masing-masing. Pandangan ini juga menyatakan bahwa manusia harus taat dan patuh dengan yang menciptakannya sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan selalu bersamanya.
Pandangan yang lain mengatakan bahwa kelahiran ini adalah proses dari kehidupan. Selama manusia belum dapat memotong penyebab dari kelahiran maka kelahiran ini akan terus berulang dan terus berulang. Akar kejahatanlah penyebab proses kelahiran yang berulang-ulang ini. Selama akar kejahatan belum putus proses kelahiran akan terus terjadi.
Tentunya akan muncul pertanyaan dalam diri kita, "Pandangan mana yang paling benar di antara pandangan-pandangan yang ada dalam kehidupan ini?" Jawabannya kembali kepada individu karena masing-masing orang memiliki pandangan religius yang berbeda. Pandangan religius yang berbeda menyebabkan perbedaan persepsi tentang kelahiran manusia.
Kalau kita kembali kepada Dhamma maka pandangan kita akan mengarah kepada proses dari kehidupan ini. Paticcasamuppada atau hukum sebab akibat yang saling bergantungan dapat dijadikan referensi tentang proses kelahiran ini. Dijelaskan bahwa Avijja atau kegelapan batin yang masih ada akan menjadi penyebab proses selanjutnya. Demikian hal ini akan terus berlanjut selama akar dari proses itu masih ada. Untuk lebih jelasnya kita kembali kepada rumusan Paticcasamuppada seperti berikut:
- Dengan adanya kebodohan muncullah bentuk-bentuk pikiran
- Dengan adanya bentuk-bentuk pikiran muncullah kesadaran
- Dengan adanya kesadaran muncullah batin dan jasmani
- Dengan adanya batin dan jasmani muncullah enam indera
- Dengan adanya enam indera muncullah kesan-kesan.
- Dengan adanya kesan-kesan muncullah perasaan
- Dengan adanya perasaan muncullah nafsu keinginan
- Dengan adanya nafsu kenginan muncullah kemelekatan
- Dengan adanya kemelekatan muncullah upadi (keinginan menjadi)
- Dengan adanya upadi muncullah kelahiran
- Dengan adanya kelahiran muncullah usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan jasmani, kekhawatiran dan putus asa.
- Dan muncullah ketidakpuasan batiniah/penderitaan
Kelahiran ini pun akan berakhir jika akar penyebab proses kelahiran tidak ada lagi seperti yang ada pada rumusan berikut:
- Dengan lenyapnya kebodohan lenyap pula bentuk-bentuk pikiran
- Dengan lenyapnya bentuk-bentuk pikiran lenyap pula kesadaran
- Dengan lenyapnya kesadaran lenyap pula batin dan jasmani
- Dengan lenyapnya batin dan jasmani lenyap pula enam indera
- Dengan lenyapnya enam indera lenyap pula kesan-kesan.
- Dengan lenyapnya kesan-kesan lenyap pula perasaan
- Dengan lenyapnya perasaan lenyap pula nafsu keinginan
- Dengan lenyapnya nafsu kenginan lenyap pula kemelekatan
- Dengan lenyapnya kemelekatan lenyap pula upadi (keinginan menjadi)
- Dengan lenyapnya upadi lenyap pula kelahiran
- Dengan lenyapnya kelahiran muncullah lenyap pula usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan jasmani, kekhawatiran dan putus asa.
- Dan lenyaplah semua ketidakpuasan batiniah/penderitaan
Jawabannya sudah jelas bahwa kenapa kita masih dilahirkan adalah karena kita masih dibelenggu oleh kekotoran batin. Selama belenggu ini belum dapat dipatahkan selama itu pula proses kelahiran akan terjadi. Dengan mengetahui penyebab dari proses penyebab kelahiran ini maka kita harus berusaha untuk berjuang menuju kepada kebahagiaan sejati sehingga tidak ada kelahiran lagi.
Mengapa Kita Berbeda?
Pernah terlintas di pikiran saya tentang perbedaan yang ada dalam kehidupan ini. Kenapa saya berbeda dengan yang lain? Mengapa dalam kehidupan ini ada yang kaya tetapi ada yang miskin, ada yang bahagia tetapi ada juga yang menderita, ada yang cantik tetapi ada juga yang jelek, ada yang baik tetapi juga ada yang jahat dan perbedaan-perbedaan lainnya?
Apakah hal ini memang sudah garis dari kehidupan ini? Apakah dalam kehidupan ini juga ada kutukan yang menyebabkan perbedaan di masyarakat? Ada yang berpendapat bahwa kita seperti apa yang ada sekarang ini karena sudah merupakan garis kehidupan dan kita tinggal mejalaninya. Suka atau tidak suka kita harus menerimanya. Berikut ini adalah khotbah Sang Buddha yang berhubungan dengan perbedaan yang ada dalam kehidupan ini sehingga kita akan memahaminya dengan baik.
"Pemilik dari perbuatan adalah makhluk, ia adalah pewaris dari perbuatannya. Perbuatannya adalah rahim darimana ia lahir, kepada perbuatannya ia terikat, namun perbuatannya juga merupakan perlindungannya. Perbuatan apapun yang ia lakukan, baik atau buruk, ia juga yang akan mewarisinya kelak."
"Terdapat orang yang gemar membunuh makhluk hidup, mengambil milik orang lain, melakukan perbuatan asusila, berbicara yang tidak benar, sering membicarakan keburukan orang lain, mengucapkan kata-kata kasar, suka bicara hal-hal yang tidak perlu, tamak, berhati kejam, dan mengikuti pandangan yang keliru.
Dan ia terikat erat dengan perbuatan yang dilakukannya melalui badan jasmani, ucapan atau pikiran. Dengan sembunyi-sembunyi ia melakukan perbuatan-perbuatan, mengucapkan kata-kata dan memikirkan sesuatu; dan sembunyi-sembunyi pula cara dan tujuannya.
Tetapi Aku katakan kepadamu, "Bagimanapun tersembunyi cara dan tujuannya, orang itu pasti akan menerima salah satu dari kedua akibat ini, yaitu siksaan di Neraka atau terlahir sebagai binatang yang merangkak."
"Demikianlah tumimbal lahir dari makhluk-makhluk," sesuai dengan kammanya, mereka akan bertumimbal lahir. Dan dalam tumimbal lahirnya itu, mereka akan menerima akibat dari perbuatan mereka sendiri," Karena itu Aku menyatakan, "pemilik dari perbuatan adalah mahkluk, ia adalah pewaris dari perbuatannya. Perbuatannya adalah rahim dari mana ia lahir, dengan perbuatannya ia terikat, namun perbuatannya merupakan perlindungannya. Perbuatan apapun yang ia lakukan, baik atau buruk, ia juga yang akan menjadi pewarisnya kelak."
(Anguttara Nikaya X. 205)
Uraian yang ada dalam Anguttara Nikaya di atas sangat jelas menerangkan bahwa sumber dari perbedaan kelahiran adalah perbuatan yang tentunya didorong oleh akar kejahatan maupun akar kebaikan. Akar dari perbuatanlah yang mempengaruhi perbedaan kehidupan ini. Dorongan akar kebaikan akan membawa kepada hal yang baik. Dorongan akar kejahatan akan membawa pengaruh negatif.
Miskin, derita, jelek, dan kondisi tidak baik lainnya adalah pengaruh perbuatan jahat yang telah dilakukan melalui pikiran, ucapan dan badan jasmani. Demikian pula sebaliknya jika kehidupan seseorang terhormat, kaya, bahagia dan hal-hal baik lainnya juga dipengaruhi oleh perbuatan yang didorong oleh perbuatan baik melalui pikiran, ucapan dan badan jasmani. Dengan memahami hal ini maka kita harus senantiasa berhati-hati dan selalu menggunakan kewaspadaan dalam segala tindakan. Ingatlah selalu pesan Sang Buddha dalam Sutta Nipata 136 berikut ini: "Seseorang tidaklah hina karena kelahiran, tidaklah juga kelahiran menjadikan seseorang suci. Hanya perbuatan yang membuat orang menjadi rendah, hanya perbuatanlah yang membuat orang menjadi suci." Syair ini bukan hanya untuk sekadar dipahami tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah praktik dalam kehidupan sehari-hari.
Kematian adalah Pasti
Banyak orang yang merinding mendengar kata "mati". Kenapa hal ini terjadi? Hal ini terjadi karena keterikatan kita dengan kehidupan ini sangatlah kuat dan juga tidak adanya pemahaman terhadap kehidupan ini. Saat mendengar kata "mati" ada pikiran-pikiran yang muncul, bagaimana keluargaku, suamiku, istriku, anakku, rumahku, jabatanku, hartaku dan hal-hal lainnya. Keterikatan inilah yang membuat seseorang menjadi cemas, takut dan gelisah seolah-olah kematian adalah maut atau bencana yang melenyapkan semuanya.
Dalam masyarakat memang berkembang opini bahwa kematian adalah maut dan menjadi momok yang menakutkan. Tentunya opini ini hanyalah sekadar opini yang seharusnya kita tidak harus larut dan tenggelam olehnya. Untuk itu kita harus berusaha untuk memahami kematian sebagaimana yang Sang Buddha ajarkan. Perenungan terhadap kematian seharusnya kita lakukan setiap saat sehingga pemahaman terhadap kematian berkembang dengan baik.
Memang tidak mudah untuk memahaminya namun kita harus berusaha untuk memahaminya sehingga dalam diri kita muncul pengertian yang baik tentang kematian. Bahwa sesungguhnya kematian juga merupakan proses dari kehidupan ini. Kematian adalah bagian dari perubahan. Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah proses menuju kepada kelahiran selanjutnya. Selama belenggu kekotoran batin masih ada dalam batin kita maka kelahiran dan kematian akan terus-menerus bersama kita.
Suatu hari Sang Buddha ada di Alavi. Beliau memberikan kotbah tentang ketidakkekalan dari kumpulan-kumpulan kehidupan (khanda). Pada saat itu Sang Buddha menekankan hal utama yang dapat dijelaskan seperti berikut: "Hidupku adalah tidak pasti; bagiku, hanya kematian yang pasti. Aku pasti mati; hidupku berakhir dengan kematian. Hidup tidaklah pasti; kematian adalah pasti." Saat Sang Buddha menjelaskan uraian ini banyak orang yang tidak memperhatikan dan hanya seorang gadis penenun yang usianya enam belas tahun yang mengerti.
Selang tiga tahun kemudian, Sang Buddha datang lagi ke Alavi karena melihat sudah saatnya gadis yang mengerti penjelasan Beliau untuk mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Ada pertanyaan-pertanyaan menarik saat Sang Buddha bertanya kepada gadis penenun.
Dari mana asalmu?
Saya tidak tahu
Kemana kamu akan pergi?
Saya tidak tahu
Tidakkah kau tahu?
Ya, saya tahu
Tahukah kamu?
Saya tidak tahu, Bhante
Banyak orang mengira jawaban gadis tadi main-main. Padahal jawabannya sesuai apa yang ditanyakan Sang Buddha. Saat ditanya, "Dari mana asalmu?" Gadis tadi menjawab tidak tahu asal kehidupan sebelumnya. Saat ditanya, "Ke mana kamu akan pergi?" Yang dipahami gadis tadi adalah kemana setelah kematian ini maka dijawab tidak tahu. Saat ditanya, "Tidakkah kau tahu?" Yang dipahami gadis tadi adalah kematian akan datang kepada siapa saja. Dan saat ditanya, "Tahukah kamu?" Yang dipahami adalah tidak tahu kapan kematian akan datang.
Pertanyaan yang sederhana tetapi mengandung makna yang sangat dalam. Masih banyak orang yang sulit memahami kematian. Secara teori mungkin bisa tetapi saat proses itu tiba sangat sulit untuk menerima proses tersebut. Untuk itu kita harus selalu merenungkan kematian. Dengan perenungan ini secara perlahan pemahaman akan kematian akan ada dalam diri kita. Ada syair yang bisa menjadi bahan renungan kita, "Bagaikan batu karang yang sangat besar, puncaknya menjulang ke angkasa. Berubah dan hancur karena pengikisan dari empat arah. Demikian pula kelapukan dan kematian. Menguasai semua makhluk, apakah dia ksatriya, brahmana, pedagang, pekerja, kasta buangan maupun pembersih jalan." (Pabbatopama Gatha)
Sorga dan Neraka
Apakah yang diharapkan manusia setelah kematian? Memang, sebagian orang takut akan kematian namun di balik ketakutan seseorang ada harapan-harapan positif, yaitu setelah kematian ingin terlahir di alam bahagia. Semua orang mengharapkan sorga karena sorga adalah simbol kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan. Sedangkan neraka adalah simbol penderitaan sehingga orang takut masuk neraka. Yang menjadi pertanyaan adalah, "Apakah benar sorga dan neraka itu ada?
Terdapat seorang bhikkhu yang suka ceramah tentang sorga dan neraka. Salah seorang umatnya yang capek mendengar ceramahnya yang itu-itu terus, suatu hari berdiri dan mengajukan pertanyaan, "Katakan pada saya di mana letaknya sorga dan neraka itu. Kalau anda tidak dapat menunjukkan berarti anda pembohong."
Bhikkhu itu karena orangnya polos, menjadi takut, bukannya menjawab tetapi ia malah duduk diam. Sikapnya itu semakin membikin marah umatnya tadi. Ia berteriak, "Jawab pertanyaanku atau kupukul!"
Bhikkhu itu cepat-cepat mengumpulkan keberaniannya dan menjawab, "Neraka ada di sekelilingmu sekarang, bersama dengan kemurkaanmu."
Orang itu menyadari kebenaran ini. Ia menjadi tenang, kemudian bertanya lagi, "lalu sorga itu ada di mana?"
Bhikkhu menjawab, "Sorga sekarang ada di sekelilingmu, bersama tawamu."
Sorga dan Neraka adalah perbuatan kita. Perbuatan kitalah yang menentukan sorga dan neraka. Kebaikan adalah sorga sedangkan kejahatan adalah neraka. Untuk itu, jika kita mengharapkan hidup bahagia maka banyak-banyaklah melakukan kebaikan. Banyak melakukan kebaikan semakin tinggi pula kebahagiaan yang akan kita rasakan. Banyak orang berharap hidupnya bahagia tetapi jarang sekali mereka melakukan praktik kebajikan. Seharusnya harapan positif itu harus diimbangi dengan praktik.
Sang Buddha menjelaskan bahwa ada empat hal yang baik dan berguna untuk mendapatkan kebahagiaan di kelahiran selanjutnya. Keempat hal itu adalah:
1. Saddha
Ia harus memiliki keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai moral, spiritual dan intelektual. Dengan memiliki keyakinan seseorang akan menjadi mantap dan kemantapan ini adalah dasar untuk praktik. Jika seseorang masih diselimuti keragu-raguan maka sangat sulit bagi orang itu untuk mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang dituju. Keyakinan ibarat benih, jika kita sudah memiliki benih tinggal bagaimana kita menanam benih-benih tersebut di ladang yang subur. Keyakinan ini pula yang akan mendorong perjuangan kita sehingga hasil yang akan kita peroleh menjadi maksimal.
2. Sila
Sila adalah disiplin moral yang tentunya akan memperkuat dan memperkokoh seseorang. Sebagai umat awam tentunya menjalankan lima kemoralan. Melatih diri untuk tidak membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata bohong, dan juga makan atau minum yang menyebabkan lemahnya kesadaran. Jika lima latihan ini dijalankan maka seseorang akan menjadi terkendali sehingga kemungkinan untuk melakukan kesalahan menjadi kecil.
3. Caga
Kebahagiaan muncul kalau seseorang berbuat baik. Untuk itu sifat kedermawanan harus dikembangkan terus-menerus. Berusahalah untuk selalu membantu dan menolong mereka yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Jangan biarkan sifat kikir itu ada pada diri kita. Seseorang yang selalu memberikan kebahagiaan kepada siapa saja maka akan memperoleh kebahagiaan pula.
4. Panna
Kebahagiaan akan muncul jikalau penderitaan itu lenyap. Lenyapnya penderitaan tentunya membutuhkan latihan. Latihan yang kita lakukan terus-menerus ini akan mempengaruhi pola pikir kita sehingga kebijaksanaan akan tumbuh berkembang pada diri kita. Kehidupan ini harus dihadapi secara bijaksana. Dengan kebijaksanaan inilah kebahagiaan akan muncul.
Itulah empat hal yang akan membawa kebahagiaan atau sorga bagi seseorang yang praktik Dhamma. Dalam agama Buddha sorga bukan hanya satu tetapi terdiri dari beberapa tingkat, dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Semakin kecil kebaikan yang dilakukan maka tingkat kebahagiaan yang akan dicapai rendah. Sebaliknya jika kebaikannya semakin banyak maka tingkat kebahagiaan yang akan dicapai juga semakin tinggi.
Ketakutan akan neraka seharusnya tidak terjadi lagi jika kita tidak melakukan kejahatan. Kita perlu takut jika kejahatan yang dilakukan. Kejahatan akan membawa kita kepada kehidupan yang tidak nyaman. Penderitaan akan selalu mengikuti kita jika kejahatan terus-menerus dilakukan. Ingat dan waspadalah, karena sikap ini akan membawa berkah yang baik bagi kita semua.
Ke Mana Kita Setelah Mati?
Jika kita ditanya, "Ke mana setelah kematian?" Spontan akan dijawab, kalau tidak ke sorga ya ke neraka. Bagi mereka yang memiliki pandangan bahwa sorga dan neraka adalah tempat terakhir setelah kematian tentunya jawaban itu adalah benar. Tetapi juga ada pandangan bahwa kita akan kembali ke unsur-unsur aslinya, tanah kembali ke tanah, air kembali ke air, udara kembali ke udara, api kembali ke api.
Sebelum sampai kepada penjelasan tentang kemana setelah mengalami kematian alangkah baiknya kita mengetahui difinisi dari kematian itu sendiri. Kematian adalah proses kehidupan. Kehidupan ini muncul, berlangsung dan kemudian lenyap. Mengapa kita mati? Ada empat sebab kematian, yaitu:
1. Energi kamma penyebab telah habis (kammakkhaya).
Umat Buddha yakin bahwa, sebagaimana biasanya, pikiran, kemauan atau keinginan, yang sangat kuat selama hidup seseorang, muncul paling kuat pada saat kematian dan menjadi sebab kelahiran berikutnya. Proses pikiran terakhir inilah yang merupakan kemampauan khusus. Ketika energi kamma penyebab (janaka) telah habis, kegiatan organik bentuk materi yang diwujudkan dalam kekuatan hidup berhenti bahkan sebelum akhir jangka waktu hidup ditempat tertentu. Ini sering terjadi pada makhluk yang dilahirkan dalam keadaan sengsara (apaya) tetapi juga dapat di alam lain.
2. Berakhirnya waktu kehidupan (ayukkhaya) yang berbeda di alam-alam yang berlainan.
Kematian yang alami, misalnya usia tua dapat digolongkan dalam kelas ini
3. Kamma penyebab telah habis bersamaan dengan berakhirnya jangka waktu hidup (ubhayakkhaya).
4. Bekerjanya berlawanan dari kamma yang lebih kuat yang tidak diduga dan merintangi jalannya kamma penyebab serta sebelum jangka waktu hidup berakhir (Upacchedaka Kamma)
Harapan setelah kematian adalah kebahagiaan. Sorga adalah cita-cita sebagian besar orang. Dalam agama Buddha kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah sebuah proses dari kehidupan. Selama belenggu kekotoran batin masih ada pada diri manusia maka setelah kematian seseorang akan terlahir lagi sesuai dengan kondisi batin orang tersebut. Mereka yang mengalami kematian akan terlahir di salah satu dari tiga puluh satu alam kehidupan.
Agama Buddha mengenal adanya kelahiran kembali. Mereka yang terlahir di alam sorga dan neraka pun masih mengalami kematian dan akan terlahir sesuai kammanya masing-masing. Sorga dan neraka dalam agama Buddha bukanlah sesuatu yang kekal. Jadi sorga dan neraka bukan akhir dari segalanya. Banyak orang bertanya, "Kalau memang ada kelahiran kembali apakah ada buktinya?"
Berikut ini adalah petikan-petikan kotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha yang berhubungan dengan kelahiran kembali:
"Aku ingat," kata Sang Buddha, "Berbagai peristiwa dalam kehidupan lampauKu: satu kehidupan; dua kehidupan; kemudian tiga kehidupan, empat, lima, sepuluh, dua puluh, lebih dari lima puluh kehidupan; sampai seratus; seribu; ratusan ribu dan seterusnya."
Pada pengamatan kedua, Sang Buddha dengan pandangan terang-Nya menyaksikan makhluk-makhluk hilang dari satu tahap keberadaan dan muncul kembali dalam keberadaan yang lain. Beliau mengatakan, "Yang hina dan yang mulia, yang cantik dan yang buruk, yang bahagia dan yang merana, berlalu sesuai dengan perbuatan mereka,"
Hal tersebut di atas adalah ungkapan awal Sang Buddha sehubungan pertanyaan tentang tumimbal lahir. Dalam Nyanyian Kebahagiaan (Udana), Sang bersabda, "Melalui banyak kelahiran aku mengembara, mencari pembuat rumah ini. Sungguh menderita, terlahir dan terlahir lagi." Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan Sang Buddha tentang kelahiran kembali. Jelas bahwa setelah kematian seseorang akan terlahir kembali sesuai dengan proses batin terakhir.
Padamnya Penderitaan
Harapan setiap orang adalah kebahagiaan. Kebahagiaan akan menjadi milik seseorang jika orang tersebut mau berjalan di atas jalan kebenaran. Kebahagiaan di sini bukanlah kebahagiaan berupa materi, kedudukan atau jabatan tetapi kebahagiaan batin. Kebahagiaan batin akan muncul jika kemauan baik, kebajikan, moralitas dan kebijaksanaan berkembang dalam diri seseorang.
Memang tidak mudah, dalam jangka waktu sekian lamanya kita selalu dalam pengembaraan, kita lahir dan terus lahir. Belenggu kekotoran batin bukannya memudar tetapi justru semakin bertambah. Keterikatan semakin kuat dan semakin bertambah. Hal ini tentunya akan terus menjerumuskan ke jurang penderitaan. Penderitaan bukannya berakhir tetapi semakin bertambah. Hal ini seharusnya menjadi bahan perenungan.
Sang Buddha mengatakan bahwa hidup ini adalah dukkha tetapi Beliau tidak berhenti di situ saja. Sang Buddha kemudian menjelaskan bahwa dukkha muncul karena ada sebab, dukkha bisa lenyap dan ada jalan menuju lenyapnya dukkha. Dari penjelasan Sang Buddha tentang dukkha tentunya membawa pengharapan bagi kita untuk mencapai kebahagiaan. Harapan untuk keluar dari belenggu penderitaan semakin terang dan jelas. Ingat! Jangan menambah penderitaan tetapi berusahalah untuk mengurangi penderitaan. Jalan telah ditunjukkan, tinggal usaha dan kerja keras kita untuk keluar dari belenggu penderitaan. Selama pengembaraan ini kita harus selalu bekerja keras dan jangan sampai berhenti hanya karena hal-hal yang tidak membawa kepada kemajuan batin.
Ada hal menarik saat Sang Buddha berada di Savatthi di hutan Jeta, di Vih1ra Anathapindika. Ketika hari menjelang pagi, Rohitassa, putra para dewa mendatangi Beliau. Dengan keelokan yang memukau, dia memancarkan sinarnya yang cemerlang ke seluruh hutan Jeta. Setelah mendatangi Sang Buddha, dia memberi hormat, berdiri di satu sisi dan berkata:
"Apakah mungkin Yang Mulia, dengan cara pergi orang bisa mengetahui, melihat atau mencapai akhir dunia yang di situ ia tidak terlahir, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak berlalu dan tidak terlahir lagi?"
"Aku nyatakan, O sahabat bahwa dengan cara pergi tidaklah mungkin untuk mengetahui, melihat atau mencapai akhir dunia, yang di situ ia tidak terlahir, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak berlalu dan tidak terlahir lagi."
"Sahabat, demikianlah yang kunyatakan. Tetapi aku tidak mengatakan bahwa orang dapat mengakhiri penderitaan kalau belum mencapai akhir dunia. Dan selanjutnya kunyatakan, O sahabat bahwa di dalam tubuh yang panjangnya enam kaki dengan persepsi dan pemikiran inilah ada dunia, asal mula dunia, berhentinya dunia dan jalan menuju berhentinya dunia."
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa memahami diri sendiri secara wajar adalah jalan menuju kebahagiaan. Kembalilah kepada diri sendiri dan janganlah selalu melihat keluar. Jika kita hanya melihat keluar justru kekotoran batin akan semakin membelenggu kita. Kekotoran batin inilah yang menyebabkan penderitaan dan akan semakin membelenggu seseorang jika tidak segera dibersihkan. Berusahalah untuk mempraktikkan petunjuk-petunjuk yang telah disampaikan oleh guru agung. Dengan praktik secara baik maka kita akan mendapatkan kebahagiaan sejati. Inilah yang dimaksud dengan akhir dunia sehingga tidak ada kelahiran lagi dan yang ada adalah kebahagiaan sejati. Selamat berjuang untuk membersihkan batin masing-masing menuju kepada pencapaian sejati
Oleh: Bhikkhu Abhayanando
Daftar Pustaka:
Riwayat Hidup Buddha Gotama; Maha Pandita S. Widyadharma.
Petikan Anguttara Nikaya; Wisma Dhammaguna Klaten.
Tumimbal Lahir, Percayakah Anda?; Sri Dhammananda.
Sang Buddha dan Ajaran-AjaraNya; Narada Mahathera.
Permata Dhamma Yang Indah; Ven S Dhammika.
Hidup Sukses dan Bahagia, tanpa takut dan cemas; K Sri Dhammananda.
Dhammapada Atthakatha; Vidyasena.
Dhammasari; MP. Sumedha Widyadharma.
Paritta Suci; Yayasan Dhammadipa Arama.
Majalah Dhammacakka, Edisi Vesakha Puja 2549; Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar