Kuil Shinto (神社 ,jinja?) adalah struktur permanen dari kayu yang dibangun untuk pemujaan berdasarkan kepercayaan Shinto. Tidak semua kuil Shinto adalah bangunan permanen, sejumlah kuil memiliki jadwal pembangunan kembali. Bangunan di Ise Jingū misalnya, dibangun kembali setiap 20 tahun.
Pada zaman kuno, walaupun tidak didirikan bangunan, tempat-tempat pemujaan Shinto tetap disebut kuil Shinto. Pada masa itu, kekuatan alam yang ditakuti seperti gunung (gunung berapi), air terjun, batu karang, dan hutan merupakan objek pemujaan. Kuil Shinto berbentuk bangunan seperti dikenal sekarang, diperkirakan berasal dari bangunan pemujaan yang dibuat permanen setelah didiami para Kami yang pindah dari goshintai (objek pemujaan). Kuil Shinto tidak memiliki aula untuk beribadat, dan bukan tempat untuk mendengarkan ceramah atau menyebarluaskan agama. Pada zaman sekarang, kuil Shinto dipakai untuk upacara pernikahan tradisional Jepang.
Menurut Almanak Agama (Shūkyō Nenkan) tahun 1992 yang diterbitkan Biro Kebudayaan Jepang, anggota Asosiasi Kuil Shinto terdiri dari 79.173 kuil berbentuk yayasan keagamaan. Asosiasi ini juga dijadikan tempat bernaung 38 organisasi keagamaan, 9 badan keagamaan, 20.336 instruktur keagamaan, dan 82.631.196 penganut Shinto.
Asal usul
Kuil Shinto bermula dari altar (himorogi) yang dibangun sementara untuk keperluan pemujaan di iwakura (tempat pemujaan alam) atau tempat tinggal para Kami yang dijadikan tempat terlarang dimasuki manusia, pada umumnya shintaisan (gunung tempat tinggal para Kami). Bangunan bersifat permanen mulanya tidak ada. Asal usulnya mungkin seperti utaki di Okinawa.
Sejak zaman kuno hingga sekarang, kuil Shinto sering tidak memiliki honden. Ada pula kuil yang hanya membangun haiden di depan iwakura atau gunung/pulau yang terlarang dimasuki manusia (misalnya: Kuil Ōmiwa, Kuil Isonokami, Munakata Taisha). Sebagian dari kuil Shinto sama sekali tidak memiliki bangunan, misalnya Kuil Hirō di Kumano Nachi Taisha. Setelah dibuatkan bangunan permanen, para Kami sehari-harinya dipercaya selalu ada di dalam kuil Shinto. Bangunan permanen dalam kuil Shinto juga diperkirakan sebagai hasil pengaruh agama Buddha yang selalu memiliki bangunan untuk menyimpan patung Buddha.
Berdasarkan alasan yang tidak diketahui, penganut Shinto kuno mendirikan bangunan di tempat yang berdekatan dengan goshintai yang sudah dipuja sebelumnya secara turun temurun. Bangunan Kuil Koshikiiwa misalnya, dibangun berdekatan dengan iwakura. Ketika dirasakan perlu untuk mendirikan bangunan kuil, misalnya ketika mendirikan desa, penduduk memilih tempat yang dianggap suci sebagai tempat pemujaan ujigami atau bunrei.
Berdasarkan alasan pendirian bangunan, kuil Shinto dibagi menjadi tiga jenis: bangunan kuil yang didirikan berdasarkan alasan sejarah (seperti di tempat yang berkaitan dengan kelahiran sebuah klan, atau di tempat yang berkaitan dengan tokoh yang disucikan, misalnya Tenmangū di Dazaifu), bangunan kuil yang didirikan di tempat yang telah disucikan, dan bangunan kuil yang didirikan di tempat yang mudah dicapai orang. Kuil Nikkō Futarasan misalnya, berada di puncak gunung hingga perlu dibangun kuil cabang di lokasi yang mudah didatangi. Bangunan kuil dapat dibangun di mana saja, mulai dari di tengah laut, di puncak gunung, hingga di atap gedung bertingkat atau di dalam rumah dalam bentuk kamidana.
Bagian-bagian kuil
Kompleks kuil Shinto mudah dikenali dengan adanya hutan pelindung yang disebut chinjū no mori (鎮守の森) di sekelilingnya (kecuali kuil yang berlokasi di tengah-tengah kota). Pohon besar yang disebut goshintai-ki sering ditandai dengan shimenawa. Kompleks kuil (keidai) dianggap sebagai kawasan suci sehingga di pintu masuk kuil dibangun torii sebagai garis perbatasan antara kompleks kuil yang sakral dan dunia profan. Jalan masuk menuju kompleks kuil disebut sandō.
Di bagian dalam kompleks kuil yang berdekatan dengan pintu masuk, dibangun chōzuya (tempat air mengalir). Orang yang berkunjung ke kuil menggunakan air untuk menyucikan kedua belah tangan dan mulut. Kantor pengelola kuil serta loket penjualan omamori dan ema berada di tempat yang mudah dilihat pengunjung. Di kompleks kuil berukuran besar sering juga dibangun kolam (shinchi) dan jembatan (shinkyō).
Bangunan kuil terdiri dari honden (bagian dalam yang berdekatan dengan altar) dan haiden (bagian luar). Orang yang berkunjung berdoa di luar, di depan haiden. Objek pemujaan disebut goshintai, berada di bagian paling dalam yang disebut honden. Daerah sekeliling honden umumnya dikelilingi oleh pagar (tamagaki) yang dibuat dari kayu atau batu.
Ruangan yang berada di antara honden dan haiden disebut heiden (ruang persembahan). Di dalam heiden dibacakan norito (doa), dan diletakkan heihaku (幣帛, persembahan untuk Kami) yang berupa kain, pakaian, senjata, miki (sake), dan makanan persembahan (shinsen).
Di dalam kompleks kuil (keidai) masih terdapat kuil-kuil sekunder yang disebut sessha. Di kuil-kuil sekunder tersebut dipuja para Kami yang berkaitan dengan Kami objek pemujaan utama. Kuil sekunder juga didirikan untuk para Kami setempat yang sudah sejak lama mendiami tanah lokasi sebelum kuil utama dibangun. Bila ada para Kami yang lain, maka dibangun kuil sekunder lainnya yang disebut massha. Istilah lain untuk menyebut sessha dan massha adalah setsumatsusha.
Setelah dimulainya shinbutsu shūgō pada zaman Nara, kuil Buddha yang disebut jingū-ji didirikan di dalam kompleks kuil Shinto. Biksu dipekerjakan untuk mengadakan kuyō untuk para Kami. Nama lain untuk jingū-ji adalah bettō-ji (別当寺) atau miyadera (宮寺) (gūji). Sejak zaman Nara, kuil Buddha juga di dalam kompleks kuil Shinto. Praktik penyatuan agama Buddha dan Shinto di Jepang berakhir setelah pemerintah zaman Meiji mengeluarkan perintah pemisahan agama Buddha dan Shinto (shinbutsu hanzen-rei). Setelah kuil Buddha dan kuil Shinto tidak lagi berada di satu kompleks, gojūnotō dan butsudō (aula tempat meletakkan patung Buddha) di dalam kompleks kuil Shinto ikut dibongkar. Biksu dibedakan dari pendeta Shinto (kanzukasa atau shinkan).
Daftar bangunan dan benda-benda yang umum dijumpai di kuil Shinto:
Torii
Sandō
Tōrō (lentera batu)
Komainu
Teuzuya (chōzuya, temizuya)
Haiden
Heiden
Saisen
Honden
Kaguraden
Maidono
Emaden
Sessha dan massha
Rōmon (楼門, pintu gerbang)
Shamusho (社務所 ,kantor pengelola).
Arsitektur
Pada umumnya, kuil di Jepang dibangun dari kayu oleh miyadaiku (tukang kayu spesialis kuil). Bangunan kuil Shinto dibangun dengan arsitektur tradisional Jepang. Walaupun dari luar terlihat seperti bangunan tradisional Jepang, kuil Shinto zaman sekarang dibangun dengan teknologi konstruksi modern berdasarkan standar bangunan antigempa dan antikebakaran, termasuk penggunaan beton bertulang untuk sebagian bangunan kuil.
Pengurus
Pendeta kepala (gūji)Pendeta Shinto disebut kannushi (shinshoku). Istilah kannushi sudah dikenal sejak zaman kuno untuk orang yang menjalankan ritual di kuil. Di antara tugas utama kannushi termasuk mengelola kuil dan melaksanakan berbagai upacara, namun tidak memberi ceramah dan tidak menyebarluaskan agama. Kepala pendeta disebut gūji, tugasnya memimpin upacara, mengelola manajemen keuangan kuil, dan bertanggung jawab atas keseluruhan urusan kuil. Miko adalah sebutan untuk wanita asisten kannushi dalam melaksanakan upacara atau pekerjaan administrasi kuil. Istilah miko dulunya dipakai untuk wanita yang memiliki kekuatan magis untuk menerima ramalan (takusen) dalam keadaan raga dirasuki Kami (kamigakari).
Penamaan dan klasifikasi
Dalam bahasa Indonesia, jinja diterjemahkan sebagai kuil Shinto, sementara tera (寺) diterjemahkan sebagai kuil Buddha.
Nama kuil umumnya diambil dari nama tempat yang menjadi lokasi kuil, misalnya: Kuil Yasaka, Kuil Kasuga, dan Ise Jingū di Ise, Prefektur Mie. Selain itu, penamaan kuil dapat diambil dari nama Kami (kuil Sumiyoshi, kuil Hachiman, Tenmangū), nama Ujigami (kuil Shitori), sebutan untuk Kami (Heian Jingū, Kuil Yaegaki), nama yang menunjukkan penggolongan kuil (Shōkonsha, Soreisha), atau jumlah Kami yang dipuja (Kuil Rokusho, Kuil Yohashira).
Kedudukan kuil tercermin dari nama kuil yang menyandang nama taisha (kuil agung) atau jingū (kuil kekaisaran). Hingga zaman Edo hanya ada dua kuil yang disebut taisha, yakni Izumo Taisha dan Kumano Taisha yang keduanya berada di Prefektur Shimane. Dari zaman Meiji hingga 1945, kuil yang menyandang nama taisha hanyalah Izumo Taisha. Sebagian dari kuil yang dulunya termasuk kelas kanpei taisha, kakuhei taisha, dan kanpeichūsha, seusai Perang Dunia II, kuil-kuil tersebut menyandang nama taisha. Kuil yang menyandang nama jingū adalah kuil yang memuliakan Kaisar Jepang dan leluhur keluarga kekaisaran, seperti Meiji Jingū.
Sebelum tahun 1945, kuil harus meminta izin pemerintah sebelum dapat menyandang nama taisha atau jingū. Setelah Jepang menganut kebijakan pemisahan negara dan agama, kuil-kuil bebas menentukan sendiri namanya. Kuil-kuil lain yang menyandang nama jingū, misalnya Hokkaidō Jingū (dulu: Kuil Hokkaido) dan Izanagi Jingū (Prefektur Hyogo).
Selain Izumo Taisha dan Kumano Taisha, kuil-kuil yang menyandang nama taisha:
Keta Taisha (Prefektur Ishikawa)
Suwa Taisha (Prefektur Nagano)
Nangū Taisha (Prefektur Gifu)
Mishima Taisha, Fujisan Hongu Sengen Taisha (Prefektur Shizuoka)
Tado Taisha (Prefektur Mie)
Hiyoshi Taisha, Taga Taisha, Takebe Taisha (Prefektur Shiga)
Matsunoo Taisha, Fushimi Inari Taisha (Prefektur Kyoto)
Sumiyoshi Taisha (Prefektur Osaka)
Kasuga Taisha, Tatsuta Taisha, Hirose Taisha (Prefektur Nara)
Kumano Hongū Taisha, Kumano Hayatama Taisha, Kumano Nachi Taisha (Prefektur Wakayama)
Munakata Taisha, Kōra Taisha (Prefekur Shizuoka).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar