Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di kepulauan Nusantara. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan. Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun 683. Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".
Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan besar yang dapat mengimbangi Majapahit di timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Sanfotsi atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabag dan Khmer yang berarti Melayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.
Berikut ini adalah beberapa sumber sejarah yang diketahui berkaitan dengan Sriwijaya:
Pembentukan dan pertumbuhan
Peta pengaruh Sriwijaya di abad ke-10
Tidak banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Menurut Prasasti Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Çri Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Ia memimpin 20.000 tentara (terutama tentara darat dan beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu.
Kerajaan ini adalah pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatra. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok.
Pada tahun 680 di bawah kepemimpinan Jayanasa, Kerajaan Melayu takluk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur, menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Ekspansi kerajaan ke Jawa dan semenanjung Melayu, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Palembang. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.
Di abad ke-12, wilayah imperium Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, semenanjung Melayu, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Philipina. Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.
Relasi dengan kekuatan regional
Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir kerajaan, walaupun klaim tersebut tak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bagunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti tertahun 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.
Kehidupan Politik
Dalam kehidupan politik. Raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga, dengan pusat kerajaannya ada 2 pendapat yaitu pendapat pertama yang menyebutkan pusat Sriwijaya di Palembang karena daerah tersebut banyak ditemukan prasasti Sriwijaya dan adanya sungai Musi yang strategis untuk perdagangan.
Sedangkan pendapat kedua letak Sriwijaya di Minangatamwan yaitu daerah pertemuan sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan yang diperkirakan daerah Binaga yaitu terletak di Jambi yang juga strategis untuk perdagangan. Dari dua pendapat tersebut, maka oleh ahli menyimpulkan bahwa pada mulanya Sriwijaya berpusat di Palembang. Kemudian dipindahkan ke Minangatamwan, Jambi.
Dengan letak yang strategis tersebut maka Sriwijaya berkembang menjadi pusat perdagangan dan menjadi Pelabuhan Transito sehingga dapat menimbun barang dari dalam maupun luar.Dengan demikian kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan internasional sangat baik. Hal ini juga didukung oleh pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana seperti Balaputradewa. Pada masanya Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan di jalur-jalur pelayaran yang menuju Sriwijaya, sehingga banyak pedagang dari luar yang singgah dan berdagang di wilayah kekuasaan Sriwijaya tersebut. Dengan adanya pedagang-pedagang dari luar yang singgah maka penghasilan Sriwijaya meningkat dengan pesat. Peningkatan diperoleh dari pembayaran upeti, pajak maupun keuntungan dari hasil perdagangan dengan demikian Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan yang besar dan makmur.
Kehidupan Ekonomi
Menurut catan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan bumi beberapa diantaranya, yaitu cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, dan rempah-rempah. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan sutera melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab, dan Madagaskar.
Kehidupan Sosial & Budaya
Masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti.Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Dari prasasti ini diketahui pula raja Sriwijaya yaitu Balaputra Dewa mempunyai hubungan erat dengan raja Dewa Paladewa (India).
Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang dapat diketahui melalui peninggalanpeninggalan suci seperti stupa, candi atau patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).Kebesaran dan kejayaan Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran dan keruntuhan akibat serangan dari kerajaan lain.
Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya.
Masa keemasan
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.
Penurunan
Tahun 1025, Rajendra Chola, raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan penaklukannya selama 20 tahun berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya.
Pada tahun 1288, Singasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singasari, memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada Pangeran Adithyawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Dimasa berikutnya, terjadi pengendapan pada sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang di sebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra berpindah agama Islam. Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan kesultanan Malaka di semenanjung Malaysia.
Raja yang pernah memerintah
Para Maharaja Sriwijaya:
1) Jayanasa
2) Indravarman
3) Rudra vikraman atau Lieou-t'eng-wei-kong
4) Dharmasetu
5) Sangramadhananjaya or Vishnu
6) Samaratungga
7) Balaputra
8) Sri Kaluhunan
9) Sri Uda Haridana atau Çri Udayadityavarman
10) Sri Wuja atau Çri Udayadityan
11) Hia-Tche
12) Sri Culamanivarmadeva
13) Sri Maravijayottungga
14) Sumatrabhumi
15) Sangramavijayottungga
16) Sri Deva
17) Dharmavira
18) Sri Maharaja
19) Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva
Tidak ada komentar:
Posting Komentar